ArenaLTE.com - Seiring dengan perkembangan jaman dan kemajuan teknologi, maka wacana Presiden Jokowi tentang ekonomi digital, menemukan jalur yang tepat. Bagaimana tidak, kehadiran teknologi  yang  makin memudahkan melakukan banyak aktivitas, juga mendorong perubahan dalam segala hal. Termasuk dalam melakukan aktivitas bisnis.

Kita tahu, bagaimana sekarang mall online menjamur, dan memberikan tekanan pada mall-mall konvensional. Dari bidang lain, kita sudah menonton bagaimana taksi konvensional terus terdesak dengan kehadiran taksi online. Dalam banyak hal, bentuk dan cara berbisnis akan berubah, mengikuti perkembangan teknologi.
aplikasi chatting terbaik
Ilustrasi pengguna smartphone di Indonesia (Foto: Hendra/ArenaLTE)

Karena itulah, ekonomi digital yang didengungkan Jokowi bisa dianggap sebagai antisipasi di masa depan. Yang salah satu andalannya adalah industri kreatif berbasiskan konten dan aplikasi, yang didukung dengan keterampilan digital. Itu akan membuat Indonesia memiliki daya saing yang sama dengan negara-negara (maju) di dunia. Yang pada ujungnya adalah mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan.

Namun, untuk mewujudkan ekonomi digital itu butuh koneksi internet pita lebar yang merata. “Koneksi internet yang bisa diakses setiap rumah menjadi keharusan,” ujar Nonot Harsono, Chairman Mastel Institut, dalam sebuah diskusi yang diadakan Indonesia Teknologi Forum (ITF), di Jakarta Rabu (21/12) kemarin.

Agar koneksi internet pita lebar bisa dinikmati segenap lapisan masyarakat, tentu butuh dukungan infrastruktur jaringan yang merata pula. Terlebih lagi, kata Nonot, bila sudah masuk ke teknologi 5G. Karakteristik teknologi 5G adalah kualitas koneksi yang lebih bagus namun dengan jangkauanlebih kecil.

Sebagai gambaran, untuk mengcover area seluas 5 km persegi hanya butuh satu atau dua BTS 4G, bila menggunakan 5G akan butuh dua hingga tiga kali lipatnya. “Karenanya, akan butuh jutaan BTS. Tidak lagi sekadar puluhan ribu,” ungkap Nonot, yang juga mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) ini.

Nonot menjelaskan, wilayah investasi bidang telekomunikasi terbagi tiga: Daerah populasi padat (perkotaan) yang layak investasi, karena potensi komersialnya juga tinggi. Lalu wilayah sangat luas tapi populasi rendah yang tidak layak investasi, karena tak ada potensi dari sisi komersial. Untuk yang bersifat seperti ini, menjadi tanggung jawab pemerintah melalui program USO. Berikutnya ada wilayah luas dengan populasi sedang. Secara komersial kurang layak investasi.Kondisi yang terakhir ini mau tak mau harus ditanggulangi bersama oleh industri melalui sharing investasi.

Pertanyaannya adalah, bagaimana memenuhi kebutuhan itu?“Tantangannya adalah disharmoni sehingga boros investasi,” ungkap Nonot. Ia mencontohkan, bagaimana borosnya apabila dalam suatu wilayah yang sama, setiap operator harus membangun infrastruktur sendiri-sendiri. Persoalan ini sesungguhnya bisa diatasi dengan penerapan cost-sharing, termasuk di dalamnya adalah network sharing. “Ini dapat menekan resiko wilayah yang kurang layak investasi, menjadi layak,” terangnya.

Untuk mencapai harmonisasi di antara pemangku kepentingan itulah, ujar Nonot, pemerintah perlu menata ulang kebijakan jaringan pita lebar.Termasuk di dalamnya adalah menata ulang kebijakan soal network sharing, yang dituangkan dalam revisi PP 52 dan PP 53. “Ini  tujuannya adalah mewujudkan pemerataan jangkauan pita lebar bagi segenap masyarakat. Agar semua orang dapat menikmati layanan pita lebar, yang memang menjadi hak masyarakat,” tegas Nonot.

Soal kebijakan itu juga yang menjadi sorotan Agus Pambagio, seorang pengamat kebijakan publik. Menurut dia, selama ini pemerintah lamban dalam mengeluarkan regulasi, dibarengi dengan lemahnya koordinasi antar kementerian dan lembaga lainnya.Agus mengatakan, pada dasarnyaKemenkominfo harus dapat melindungi dan melayani kebutuhan publik serta dapat menciptakan iklim usaha telekomunikasi yang penuh kepastian agar produk-produk dari sektor ini dapat kompetitif.

Karena itu, menurut Agus, pemerintah mesti membuat kebijakan public yang tidak berpihak, dan berorientasi kepada kepentingan masyarakat banyak. Ia mengambil contoh soal tariff interkoneksi, yang seharusnya bisa dibuat lebih murah agar tidak memberatkan masyarakat. “Pendekatannya adalah, interkoneksi jangan dimasukkan sebagai pendapatan.Kalau sebagai pendapatan, tentu operator keberatan karena (pendapatan) jadi kecil,” ujar Agus.

Agus juga menyoroti aturan soal network sharing. “Pemerintah harus mengatur soal ini,” katanya. Maksud dia, pemerintah mengeluarkan aturannya. Namun aspek bisnis, seperti berapa biaya sewa dan sebagainya, tetap diserahkan kepada operator.Oleh karena itu, Agus menandaskan, pemerintah harus segera mensahkan perubahan PP 52 dan 53.“Intinya, review kebijakan yang sudah tidak sesuai,” tandasnya.

Berpotensi Merugikan

Namun tak semua sepakat dengan apa yang dipaparkan Nonot. Pengamat telekomunikasi Rahardjo Tjakraningrat, menilai, revisi PP 52 dan 53 justru berpotensi mengurangi pendapatan negara. Terutama jika biaya interkoneksi menjadi tak ideal dan adanya berbagi jaringan aktif (network sharing) yang wajib bagi semua operator.Termasuk untuk Telkom.

Menurut Rahardjo, posisi Telkom sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di mana keuntungan yang didapat sebagian diserahkan ke negara sebagai salah satu pemegang saham. "Kalau revisi PP 52 dan 53 itu terjadi, sudah pasti ada potensi pengurangan keuntungan Telkom. Ini artinya negara juga turun pendapatannya, kalau negara berkurang penghasilan, yang rugi di ujung siapa?Ya, rakyat Indonesia ini," ujar Rahardjo yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Asosiasi Perusahaan Nasional Telekomunikasi (Apnatel) di Jakarta (31/10).

Rahardjo memaparkan, jikapun biaya interkoneksi ditetapkan secara asimetris, itu wajar saja. Sebab, upaya masing-masing operator dalam membangun jaringan harus dihargai."Ada yang bangun jaringan hingga pelosok, masa dikasih cost recovery sama dengan yang hanya bangun di perkotaan. Ini namanya tak adil," tegasnya.

Ditambahkannya, hal yang sama juga terjadi di konsep berbagi jaringan yang dipaksakan atau wajib bagi semua operator seperti yang dirancang dalam revisi kedua PP tersebut. "Jika dilihat rekomendasi International Telecommunication Union (ITU) itu dibilang open access berlaku bagi infrastruktur yang dibangun pemerintah (public). Ini kok menjadi jaringan yang dibangun operator (Telkom) wajib dibuka. Ini mau berbagi atau numpang jaringan," pungkas Rahardjo.