Drone sebagai penerapan dari teknoligi sudah barang tentu mempunyai dua sisi mata pisau, selain dapat berguna untuk mendukung hal-hal yang positif dan produktif. Namun di sisi lain pesawat mungil tanpa awak ini bisa ditujukan untuk maksud kriminal. Sebut saja mulai dari pengiriman narkoba dan senjata ke dalam lingkungan penjara, misi pengintaian illegal, dan tujuan lain seperti terorisme yang menyangkut kelematan orang banyak.
Khususnya di Jerman, beberapa manufaktur otomotif kerap dibuat jengkel oleh beberapa paparazzi yang memanfaatkan drone untuk mengintip pengujian prototipe kendaraan yang seharusnya masih dirahasiakan.
Sistem anti drone (Foto: petapixel.com/)[/caption]
Nah, berangkat dari hal diatas, Deutsche Telekom yang mempunyai infrastruktur jaringan menara BTS (Base Transeciver Station), akan meluncurkan sistem anti drone. Sistem anti drone berjalan dengan memanfaatkan frekuensi jamming, sehingga drone tidak dapat menjalankan navigasi dan komunikasi di area tertentu.
Rencananya sistem anti drone ini akan digelar di area pelabuhan udara, stadion olah raga, dan instalasi penting lainnya. Minggu lalu telah muncul kasus pembajakan (hijack) drone, sehingga dapat ditabrakan atau diambil alih kendalinya dari tangan operator.
Baca juga:
* Eropa Uji Coba Drone & LTE untuk Manajemen Lalu Lintas Kota Pintar
* Intel Aero, Drone yang Bisa Dirakit Sendiri
Dewasa ini para manufaktur drone terus berupaya mengikuti ketentuan geofencing, artinya drone dipastikan tidak bisa terbang di daerah terlarang. Bila di Indonesia orang bebas membeli drone, maka di Amerika Serikat orang yang membeli drone harus mendaftarkan diri ke FAA (Federal Aviation Administration) terkait persayaratan kegiatan legal, dan pastinya drone harus bisa di track oleh otoritas, dan dimiliki oleh identitas yang jelas.