Spyware masuk lewat fitur call pada WhatsApp. Akibat yang ditimbulkan bisa sangat parah, dimana penjahat dapat mengambil alih sistem operasi pada Android maupun iOS.
Chairman lembaga riset keamanan siber CISSReC Pratama Persadha mengatakan meskipun WhatsApp mengklaim bahwa kasus ini hanya terjadi pada segelintir pengguna yang telah ditargetkan. Namun kejadian ini harus menjadi perhatian bersama.
"Sebagai pengguna sudah semestinya berhati-hati ketika melakukan komunikasi. Kasus penyusupan spyware pada WhatsApp menunjukan bahwa aplikasi pesan instan paling populer di dunia ini memiliki celah keamanan yang dapat ditembus," kata Pratama, Rabu (15/4).
Lebih lanjut Pratama mengungkapkan bahwa banyak pejabat di Indonesia melakukan komunikasi dan memberikan keputusan melalui grup WhatsApp. Menurutnya hal ini sangat riskan dan berbahaya.
"Sangat berbahaya pejabat atau tokoh penting di Indonesia memakai WhatsApp dan aplikasi pesan instan gratisan lainnya. Apalagi komunikasi yang dilakukan bersifat penting dan strategis," tandas Pratama.
Pratama Persadha Chairman lembaga riset keamanan siber CISSReC
Lebih lanjut Pratama menjelaskan bahwa bahaya dari spyware ini tidak hanya mencuri data percakapan saja, tetapi juga bisa mengambil alih sistem operasi. Bahkan konon bisa menginfeksi saat korban mengangkat panggilan WhatsApp dari nomor penyerangnya.
Agar tidak terjadi hal yang tak diinginkan, Pratama menghimbau kepada seluruh pengguna WhatsApp agar segera melakukan pembaharuan sistem, baik untuk platform iOS atau Android. Tim WhatsApp sudah melakukan pembaharuan untuk menutupi celah tersebut.
Perlu diketahui, kasus yang terjadi pada WhatsApp telah menambah rentetan masalah keamanan data pada perusahaan di bawah naungan Facebook. Sebelumnya Facebook telah berkali-kali bermasalah dengan isu keamanan, yang paling ramai adalah kasus cambridge analityca.
Namun kasus yang menimpa WhatsApp saat ini berbeda, dimana WhatsApp telah menjamin kerahasiaan pesan dan telpon dengan enkripsi yang menjadi standar komunikasi yang aman di berbagai negara, bahkan juga di Indonesia.
Amnesti Internasional bergerak cepat dengan rencana menuntut kasus ini ke pengadilan. Kementrian Pertahanan Israel yang akan ditarget sebagai pihak tergugat.
Amnesti Internasional melihat tindakan pemerintah Israel membiarkan NSO menjual dan menyebarkan software berbahaya ini sebagai tindakan melawan hak asasi manusia.