
Perusahaan asal Kanada Tersebut hanya menjual sekitar 500 ribu unit smartphone saja di kuartal fiskal pertama. Merosot sedikit dari kuartal sebelumnya (600 ribu unit) dan dari kuartal sebelumnya lagi (700 ribu unit). Tak butuh hitung-hitungan matematis yang menguras otak untuk menggambarkan perkembangan bisnis smartphone Blackberry.
Angka terbaru yang muncul tersebut menjadi pertanda atau mungkin mengindikasikan bahwa smartphone Blackberry tengah mendekati ajal. Di sisi lain, perusahaan masih berharap bisa memperbaiki penjualan dengan bekerjasama dengan Google, mengadopsi platform Android buat seri Priv. Tapi sayang, penjualannya masih tetap menyusut.
BACA: BlackBerry Kini Fokus Pada Bisnis Keamanan Perangkat Lunak
Blackberry membukukan kerugian 670 juta dolar AS atau setara IDR 9,380 triliun (kurs 14000) untuk fiskal kuartal pertama. Perusahaan ini melaporkan pendapatan 400 juta dolar AS atau IDR 5,6 triliun alias masih di bawah angka 470,9 dolar AS atau IDR 6,592 triliun yang diprediksi para analis. Angka di atas mewakili penurunan 40% dari kuartal yang sama tahun lalu.
Tapi Blackberry ternyata masih ngotot jika pihaknya tetap bisa membukukan profit. "Saya masih sangat yakni jika kami tetap bisa menghasilkan uang dari bisnis device ini,” ujar Chen menegaskan optimismenya dalam sebuah conference call dengan analis keuangan.
Terlepas dari bisnis smartphone-nya, Blackberry sebenarnya tengah bertransformasi menjadikan dirinya sebagai penyedia layanan bisnis dan software. Bicara masa lalu, Blackberry memang mengandalkan revenue dari smartphone, tapi sekarang 39 persen pendapatan mulai diperoleh dari software dan service. Lebih besar dari smartphone yang hanya mencatatkan 36 persen revenue.
Blackberry punya alasan untuk optimistis di bisnis software yang memberikan pendapatan terus menerus selama tiga kuartal. Menjadi penyumbang dolar yang cukup konsisten. Tapi Blackberry harus berhati-hati, meski start-nya dinilai bagus tapi kalangan analis menilai mereka belum mencapai titik dimana bisnis layanan dan software bisa dijadikan tempat bergantung utama. “Mereka tidak bisa mempertaruhan perusahaan di bisnis software.”