ArenaLTE.com - Pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi FinTech Indonesia (AFTECH) mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk lebih serius menunjukkan komitmennya dalam membangun industri Fintech di Indonesia khususnya usaha p2p (peer-to-peer) lending atau kegiatan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi.
Wakil Ketua Asosiasi FinTech Indonesia (AFTECH Indonesia), Adrian Gunadi, menegaskan, “Pelaku usaha Financial Technologi (Fintech) mengharapkan realisasi komitmen regulator menyusul dikeluarkannya Peraturan OJK (P.OJK) Nomor 77/POJK.1/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) pada Desember 2016 lalu.”
Telah tiga bulan sejak dikeluarkannya P.OJK no. 77 tersebut, namun belum tampak perkembangan signifikan dalam hal jumlah perusahaan tekfin yang mendapatkan izin usaha dari OJK. Sebaliknya, banyak perusahaan tekfin yang menemui kesulitan dalam mendapatkan informasi yang jelas seputar teknis pendaftaran p2p lending di OJK.
“Situasi ini menyulitkan para pelaku usaha dan berimbas pada kinerja perusahaan. Padahal animo masyarakat terhadap bisnis fintech di Indonesia khususnya p2p lending sangat besar. “Kami mengharapkan respon yang lebih serius dari OJK dalam perannya sebagai regulator, agar mampu menciptakan ekosistem industri yang lebih kondusif bagi pertumbuhan pasar,” jelas Adrian.
Per Maret 2017, baru tercatat sebanyak 27 perusahaan tekfin dengan skema p2p lending dan crowdfunding yang telah mendaftarkan diri untuk menjadi badan usaha. Dari jumlah tersebut, hampir seluruhnya hanya menerima tanda bukti terima dokumen pendaftaran saja tetapi belum menerima surat keterangan telah mendaftar. Hal ini tentu menjadi penghambat bagi proses pengajuan perizinan usaha selanjutnya.
Wakil Ketua Asosiasi FinTech Indonesia (AFTECH Indonesia), Adrian Gunadi, menegaskan, “Pelaku usaha Financial Technologi (Fintech) mengharapkan realisasi komitmen regulator menyusul dikeluarkannya Peraturan OJK (P.OJK) Nomor 77/POJK.1/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) pada Desember 2016 lalu.”
Telah tiga bulan sejak dikeluarkannya P.OJK no. 77 tersebut, namun belum tampak perkembangan signifikan dalam hal jumlah perusahaan tekfin yang mendapatkan izin usaha dari OJK. Sebaliknya, banyak perusahaan tekfin yang menemui kesulitan dalam mendapatkan informasi yang jelas seputar teknis pendaftaran p2p lending di OJK.
“Situasi ini menyulitkan para pelaku usaha dan berimbas pada kinerja perusahaan. Padahal animo masyarakat terhadap bisnis fintech di Indonesia khususnya p2p lending sangat besar. “Kami mengharapkan respon yang lebih serius dari OJK dalam perannya sebagai regulator, agar mampu menciptakan ekosistem industri yang lebih kondusif bagi pertumbuhan pasar,” jelas Adrian.
Per Maret 2017, baru tercatat sebanyak 27 perusahaan tekfin dengan skema p2p lending dan crowdfunding yang telah mendaftarkan diri untuk menjadi badan usaha. Dari jumlah tersebut, hampir seluruhnya hanya menerima tanda bukti terima dokumen pendaftaran saja tetapi belum menerima surat keterangan telah mendaftar. Hal ini tentu menjadi penghambat bagi proses pengajuan perizinan usaha selanjutnya.
Pertumbuhan Industri Fintech di Indonesia
Sementara, pertumbuhan industri Fintech di Indonedia dengan skema p2p lending tumbuh dengan pesat di Indonesia saat ini. AFTECH Indonesia memetakan sedikitnya 157 perusahaan start-up fintech yang saat ini beroperasi dengan aktif di Indonesia, dengan nilai transaksi mencapai 18,64 miliar dollar AS (menurut data Riset Statista).Dari total jumlah pelaku tersebut, sektor pinjaman dan pembiayaan personal mencapai 25% dan diprediksi untuk terus tumbuh sejalan dengan potensi pasar yang masih besar.
P2P lending sebagai layanan baru masih perlu membangun kepercayaan masyarakat untuk tumbuh secara berkelanjutan dan bisa berdampak pada ekonomi, terutama pertumbuhan Usaha Kecil Menengah (UKM). Masih ada potensi sebesar Rp. 1.000 triliun pada pembiayaan di Indonesia yang belum terlayani. Melalui dukungan aturan yang jelas, industri fintech di Indonesia khususnya p2p lending dipercaya dapat tumbuh secara optimal.
P2P lending sebagai layanan baru masih perlu membangun kepercayaan masyarakat untuk tumbuh secara berkelanjutan dan bisa berdampak pada ekonomi, terutama pertumbuhan Usaha Kecil Menengah (UKM). Masih ada potensi sebesar Rp. 1.000 triliun pada pembiayaan di Indonesia yang belum terlayani. Melalui dukungan aturan yang jelas, industri fintech di Indonesia khususnya p2p lending dipercaya dapat tumbuh secara optimal.
Baca Juga :
OJK Perlu Terapkan Regulasi Layanan Fintech Berbasis Cloud
FinTech, Solusi Baru Layanan Jasa Keuangan Di Era Digital
FintechFest, Mempopulerkan Teknologi Finansial Di Indonesia
OJK Perlu Terapkan Regulasi Layanan Fintech Berbasis Cloud
FinTech, Solusi Baru Layanan Jasa Keuangan Di Era Digital
FintechFest, Mempopulerkan Teknologi Finansial Di Indonesia
Ketua Bidang P2P Lending AFTECH Indonesia, Reynold Wijaya, mengatakan, “Banyak tindak lanjut koordinasi yang mendesak untuk direalisasikan, seperti perlunya pembentukan lembaga pengawas fintech di OJK yang khusus mengawasi jalannya usaha p2p lending.
Sangat dibutuhkan juga adanya koordinasi dan sinergi OJK dengan kementerian/lembaga negara terkait, seperti misalnya dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi sehubungan dengan bukti kesiapan operasional yang harus dipenuhi pelaku usaha; perlunya kejelasan sejumlah prosedur kerja seperti standar implementasi Know Your Customer (KYC) secara digital, sertifikasi digital untuk tanda tangan elektronik, serta tata cara pendaftaran perusahaan ke OJK,” ujarnya.
Direktur Kebijakan Publik AFTECH Indonesia, Ajisatria Suleiman, menambahkan, “Selain menampung keluhan dari para pelaku usaha, Asosiasi juga mengusulkan beberapa poin solusi, seperti mendorong pembentukan unit setingkat Departemen di dalam tubuh OJK yang memiliki kuasa untuk menyelesaikan masalah yang timbul."
OJK memberikan batas waktu 6 bulan sejak dikeluarkannya POJK No.77/2016 bagi perusahaan p2p lending untuk melakukan pendaftaran. Pelaku usaha tinggal memiliki waktu sebentar lagi untuk memenuhi aturan ini. Untuk itu, diharapkan OJK bisa segera memberi kejelasan terkait aturan ini.
Asosiasi FinTech Indonesia sendiri merupakan asosiasi/wadah yang menghimpun perusahaan/institusi para pelaku sektor jasa keuangan yang menggunakan kemajuan teknologi dalam menjalankan usahanya. Asosiasi FinTech Indonesia diluncurkan secara resmi di hadapan publik pada September 2015 dan resmi terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM RI sebagai badan hukum perkumpulan pada Maret 2016. Asosiasi Fintech mulai membuka keanggotaannya kepada publik pada Mei 2016, kini didukung 53 perusahaan start-up Fintech dan 17 institusi keuangan.
Secara umum AFTECH Indonesia menyoroti peran regulator yang sangat penting dalam memastikan perkembangan positif industri tekfin di masa depan mengingat industri ini menjalankan bisnis yang sangat riskan jika tidak diatur dan diawasi dengan baik. “Kami sangat menantikan realisasi cepat OJK untuk memberikan landasan regulasi yang kuat bagi para pemangku kepentingan di industri ini, mengingat tingkat pertumbuhan skema p2p lending begitu pesat di Indonesia. Hal ini tidak hanya baik bagi iklim usaha, namun juga penting untuk memastikan keamanan dan kenyamanan para pengguna”, pungkas Adrian.