Menyikapi Teknologi: Adaptasi or Die!

ArenaLTE.com - Kita baru saja mendapat tontonan menyedihkan. Sebuah aksi unjuk rasa besar-besaran yang digelar pengemudi taksi dan angkutan umum. Aksi yang didasari rebutan rejeki, yang ujung-ujungnya diwarnai aksi anarkis dan saling kepruk antara kelompok pengunjuk rasa, dengan kelompok yang jadi sasaran aksi unjuk rasa.Sedih, karena akhirnya terjadi bentrokan horizontal, antara sesama rakyat kecil.

Walaupun digembar-gemborkan pemicunya adalah persoalan persaingan yang tidak imbang, legalitas, dan sebagainya, namun di balik itu terselip fenomena yang, terasa atau tidak, disadari atau tidak, yang akan terus terjadi. Apa itu? Gelombang dahsyat perkembangan teknologi, yang pelan tapi pasti akan mengubah cara hidup manusia.

[caption id="attachment_17800" align="aligncenter" width="800"]kisruh taksi online Aksi demo supir taksi 22 Maret 2016[/caption]

Perkembangan teknologi adalah sebuah keniscayaan. Selama manusia masih memanfaatkan akalnya, selama itu pula teknologi akan terus berkembang. Kalau tidak, mungkin kita masih menyalakan apimemakai batu api, sembari memakai cawat dari kulit pohon. Ketika teknologi baru hadir, yang lama pasti tersingkir. Cara-cara lama akan terganti cara-cara baru. Yang ngotot memakai cara lama, dipastikan tak akan bertahan lama. Dan di sini yang berbicara adalah esensi survival. Bukan yang paling kuat, paling pinter, paling kece yang mampu bertahan. Hanya yang paling bisa beradaptasi dengan perubahan yang bisa bertahan.

Nah, proses itulah yang sedang kita lihat lewat aksi unjuk rasa tersebut. Tiba-tiba, sebuah inovasi yang memanfaatkan teknologi terkini, hadir di dunia transportasi.Sebuah layanan taksi dan ojek berbasis aplikasi. Inovasi ini dengan cepat merebut hati banyak orang, khususnya yang rajin memanfaatkan jasa taksi dan ojek.

Mereka menemukan sebuah layanan yang lebih mudah, lebih murah, lebih nyaman, dan ..yaaa, bolehlah dibilang aman juga. Sederhananya, lebih okelah dibanding memakai jasa taksi meteran dan ojek pangkalan. Yang terakhir ini kadang-kadang bikin dongkol karena memasang ongkos seenak jidat, sehingga memaksa penumpangnya bersilat lidah dulu menawar harga jasa yang ketinggian.

Jadi, jangan heran ketika kemudian orang berbondong-bondong beralih ke layanan model baru itu –dan inilah yang tak bisa diterima pihak taksi meteran dan ojek pangkalan. Makanya mereka demo menuntut layanan taksi dan ojek berbasis aplikasi ini ditutup. Atas nama keadilan, katanya.

[caption id="attachment_18041" align="aligncenter" width="800"]Pengemudi ojek online Go-Jek Pengemudi ojek online Go-Jek[/caption]

Sebenarnya yang terjadi, ada satu pihak yang dengan cerdik beradaptasi dengan kehadiran teknologi baru itu. Mereka menyesuaikan cara berbisnis di bidang angkutan, dengan kelebihan dari teknologi tersebut. Gimana caranya? Pertama mereka memudahkan pelanggan mendapatkan layanan taksi/ojek. Tak harus berdiri di pinggir jalan, atau mendatangi pangkalan ojek. Dari tempat mereka berdiri, mereka bisa memesan layanan taksi/ojek.

Aplikasi itu juga memungkinkan pelanggan mengetahui dengan pasti, adakah taksi/ojek yang menjawab pesanannya, di mana posisi taksi yang dipesan, berapa lama sampai, dan siapa nama pengemudi dan nomor kendaraan. Semua muncul di layar smartphone pelanggan.Bahkan, pelanggan juga sudah tahu, berapa rupiah ongkos yang harus dibayar.Tak harus deg-degan khawatir ongkos membengkak gara-gara dibawa pengemudi muter-muter, atau terjebak macet.

Dan ini yang dahsyat. Ternyata ongkosnya jauh lebih murah dibanding taksi meteran dan ojek pangkalan. Kok bisa? Terus itu perusahaan untungnya darimana? Yang bener aja, ah! Nah, ini satu lagi buah hasil beradaptasi dengan teknologi. Dengan aplikasi tersebut, mereka dengan jeli menemukan cara baru dalam menjalankan bisnis jasa angkutan penumpang ini.

Sebuah cara berbasis kemitraan (dengan pemilik kendaraan), yang bisa menekan cost sedalam-dalamnya. Mereka tak perlu belanja ratusan miliar rupiah untuk membangun armada. Tidak perlu juga menghamburkan rupiah untuk ongkos perawatan kendaraan, pengadaan fasilitas bengkel dan pool, dan sebagainya. Di lain pihak, mitra pengemudi juga happy. Berkat ikut sebagai mitra, mereka jadi bisa punya kendaraan sendiri, dan mendapat penghasilan dari kendaraan mereka.

Lalu muncul pertanyaan lain. Dengan tarif yang segitu murah, memangnya penyelenggara bisa dapat untung? Apalagi ada skema subsidi tarif yang diberikan ke pelanggan.Apakah Anda pikir penyelenggara taksi atau ojek online ini mengandalkan pemasukan dari setoran mitra sebagai sumber pendapatan utama?Kalau ya seperti itu, jelas-jelas perusahaan ini bakal bangkrut.

Tapi tampaknya, orang-orang ini melihat “sesuatu” yang tidak, atau belum dilihat oleh mereka yang sudah puluhan tahun berkecimpung di bisnis jasa angkutan ini.Orang-orang lama yang berpikiran bahwa sumber pendapatan utama dari bisnis angkutan, ya dari penumpang.

Era Big Data

Apakah “sesuatu” itu? Pernahkah Anda menggunakan aplikasi ini? Bukankah ketika pertama kali mengunduh aplikasi taksi atau gojek online ini ke smartphone, Anda harus mendaftarkan identitas Anda, nomor telepon, alamat email, dan sebagainya. Dan tahukan Anda, data-data itu akan menjadi asset sangat luar biasa bagi orang yang mengerti cara memanfaatkannya.

Big data, itulah bisnis yang baru tumbuh di era digital ini. Data-data konsumen, berikut profilnya, sangat dibutuhkan bagi pihak-pihak yang berniat melakukan riset pasar, berpromosi, bahkan riset politik sekalipun.Tentu saja, bila membutuhkan data-data seperti itu, tidaklah gratis. Namun, lebih murah membeli data dari pemilik gudang data, ketimbang mengumpulkan data sendiri.

Bagi penyelenggara angkutan online, mereka tak perlu susah payah mengumpulkan data. Data-data pelanggan ini terkumpul dengan sendirinya ketika ada pelanggan baru yang mendaftar.Berapa banyak orang yang sudah menggunakan aplikasi mereka?Jumlahnya mungkin sudah mencapai jutaan.Makanya pula, tidak usah heran apabila Grab, misalnya, melakukan promo layanan gratis selama sepuluh hari bagi pelanggan baru.Itu tujuannya, mendorong orang menggunakan aplikasi mereka, dan pada akhirnya menyerahkan data profil mereka.

Sehingga, ketika bisnis big data ini berjalan, maka pendapatan dari penumpang menjadi sekadar pendapatan sampingan, yang kalau mau malah bisa diabaikan.

Kembali ke soal benturan yang terjadi pada unjuk rasa pengemudi taksi meter dan beberapa moda angkutan lain, sesungguhnya kita sedang menonton pertarungan antara pihak yang beradaptasi dengan teknologi, serta jeli memanfaatkan keunggulan yang dibawanya, dengan pihak yang masih bertahan dan percaya dengan cara-cara lama. Siapa yang menang?

Mungkin saja saat ini desakan perubahan yang dibawa oleh teknologi baru itu masih bisa ditahan.Tetapi betapapun kuat upaya membendung perubahan itu, suatu saat pasti jebol juga. Dalam urusan evolusi, perubahan dan hukum bertahan hidup (survival), yang berlaku adalah: Mereka yang paling pandai beradaptasi, itulah yang akan menang dan bertahan. Yang tak bisa, cepat atau lambat akan tersingkir. Adaptasi ..Or Die!
Catatan: ini adalah artikel opini dari penulis.

Leave a Comment