ArenaLTE.com - Sering bukan, kita mendengar ucapan begini. “Ah, kalo nelpon ke operator yang beda, mahal. Pulsa cepet habis.” Dengan alasan itu juga, banyak orang lantas membekali dengan banyak nomor dari operator berbeda-beda. Ya itu tadi, kalau mau nelpon ke operator X, maka yang digunakan nomor dari operator X. Begitu seterusnya.
Kenapa lebih mahal ketimbang menelpon ke operator yang sama? Itu karena ada biaya interkoneksi yang dibebankan kepada pelanggan. Sementara kalau bertelepon ke pengguna operator yang sama (on net), tak perlu mengeluarkan biaya tersebut. Biaya yang dimaksud adalah, ketika seseorang menelepon ke operator yang berbeda, pada dasarnya panggilan itu menggunakan separuh jaringan yang digunakan orang tersebut, dan separuhnya lagi menggunakan jaringan operator nomor yang dituju.
Nah, soal biaya (interkoneksi) inilah yang masih jadi polemik. Karena, sebagian pihak menganggap biaya interkoneksi masih kemahalan, dan bahkan berpendapat, sebenarnya tak perlu ada biaya interkoneksi karena menyebabkan biaya bertelepon menjadi mahal. Apalagi, sebenarnya biaya interkoneksi ini semestinya dianggap sebagai cost bagi operator. Bukan sebagai pendapatan.
Soal itulah yang dibedah dalam seminar nasional bertajuk “Membedah Efisiensi Tarif Interkoneksi” yang digelar di Jakarta, Selasa (7/03) lalu. Dalam kesempatan itu, Menkominfo Rudiantara, yang berbicara melalui fasilitas video conference, menegaskan, interkoneksi merupakan hak pelanggan yang harus dilayani penyelenggara telekomunikasi. “Itu adalah hak pelanggan,” tegasnya. Jadi, interkoneksi itu harus ada, bagaimanapun caranya. Dan itu menjadi kewajiban operator untuk mengadakannya. Itu adalah salah satu dimensi dari lima dimensi terkait interkoneksi.
Berikutnya adalah, interkoneksi adalah B2B (business to business). Artinya ada business arrangement. ”Perbedaan dalam cara bisnis operator ataupun capex tidak boleh menjadi penghalang interkoneksi,” tegas Chief RA lagi. Ketiga dari sisi teknikal evolusi teknologi telekomunikasi akan mengarah ke IP (internet protocol) switched sehingga interkoneksi berbasis circuit switched kemungkinan akan hilang dalam beberapa tahun ke depan. Dalam lima tahun ke depan dari saat ini, interkoneksi sudah tidak akan ada lagi. “Sudah tidak relevan lagi,” kata Menteri yang biasa disapa dengan panggilan Chief RA ini.
Dimensi keempat, pemerintah melihat interkoneksi adalah bagaimana industri seluler tetap sustainable ke depan serta semakin kompetitif sehingga bisa menawarkan layanan yang terjangkau (affordable) bagi masyarakat. Kelima, kewajiban operator ke depan adalah tidak hanya menempatkan coverage tetapi juga memantapkan QoS (Quality of Service) dalam melayani kebutuhan konsumen.
Soal berapa besaran tariff interkoneksi yang ideal, itu masih dalam pengkajian. Benyamin Sura, Direktur Telekomunikasi Ditjen PPI Kominfo, mengungkapkan, saat ini Kominfo masih terus mengkaji dengan BRTI terkait besaran interkoneksi. “Saat ini kami sedang melakukan lelang tahap kedua untuk mendapatkan verifikator independen untuk menilai besaran nilai interkoneksi yang tentu membutuhkan data-data dari operator,” katanya. Dengan verifikator independen tersebut diharapkan besaran nilai interkoneksi dapat diterima oleh semua pihak.
Salah satu pendapat menarik datang dari pengamat telekomunikasi, Bambang P. Adiwiyoto yang menyatakan sejak beberapa tahun lalu dasar yang digunakan oleh regulasi dalam menghitung interkoneksi adalah LRIC (Long Run Incremental Cost). “Dengan metode ini seharusnya dilakukan penghitungan ulang biaya interkoneksi dengan berpegang pada dasar tarif operator yang paling efisien,” jelasnya.
Artinya, konsumen bisa menggugat kalau dasar yang digunakan dalam mengambil kebijakan tarif interkoneksi itu bukan dari hitungan paling efisien. Bambang juga menyatakan bahwa sebaiknya tarif interkoneksi tidak menggunakan batas bawah, tetapi menggunakan batas atas. Penurunan tarif interkoneksi nantinya akan membuat trafik atau lalu lintas telepon meningkat. Artinya, pendapatan operator tidak akan terlalu tergerus dengan penurunan tarif interkoneksi.
Salah satu persoalan yang mencuat adalah kebijakan interkoneksi. Kementerian Kominfo mendorong operator untuk melakukan efisiensi dan keberlanjutan industri penyelenggaraan telekomunikasi dengan menurunkan tarif interkoneksi. Ketika Kementerian Kominfo mengeluarkan Surat Edaran (SE) kepada Penyelenggara Telekomunikasi yang melakukan Interkoneksi (Penyelenggara) yaitu SE Nomor 1153/M.KOMINFO/PI.0204/08/2016 tertanggal 2 Agustus 2016.
Surat edaran tersebut berisi penurunan tarif interkoneksi yang secara agregat turun sebesar 26 persen dan diberlakukan untuk 18 skenario panggilan layanan seluler. Tapi, kebijakan itu tak serta merta disambut oleh seluruh operator. Operator berbeda pendapat, ada yang pro, ada pula yang kontra.
Hingga akhir tahun 2016, kebijakan tarif interkoneksi ini belum juga ditetapkan hingga akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan membuat Panja Interkoneksi untuk menyelesaikan polemik ini. Padahal, jika melihat dasar hukum interkoneksi sudah diatur pada pasal 1 butir 16 UU 36/1999 yang menyatakan bahwa Interkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda.
Dengan aturan hukum tersebut sebenarnya tidak ada alasan bagi operator untuk menolak pengaturan tarif Interkoneksi, karena hal itu bagian dari regulasi. Formula perhitungan biaya interkoneksi ini ditetapkan oleh Pemerintah, dan operator hanya memasukan data yang diperlukan sesuai dengan kondisi jaringan masing-masing operator.
”Pemerintah mendorong penurunan biaya interkoneksi dengan tujuan ingin memberikan efisiensi dan keberlanjutan industri penyelenggaraan telekomunikas, seperti soal pengembangan wilayah dengan tetap menjamin ketersediaan infrastruktur. Sedangkan dari sisi pelanggan jasa telekomunikasi, pemerintah berharap penurunan biaya interkoneksi diharapkan dapat menurunkan tarif pungut (retail) untuk layanan antar penyelenggara (off-net) tanpa mengurangi kualitas layanan,” ungkap Rudiantara.
Bambang mengemukakan hal yang sama. Menurutnya, apabila tarif interkoneksi tetap tinggi maka akan ada perbedaan tarif on-net dan off-net yang tinggi. Akibatnya terjadi ekonomi biaya tinggi karena konsumen lantas beralih menggunakan ponsel dual SIM untuk menghindari panggilan antaroperator yang tarifnya sekitar 3x dari tarif on-net serta tingginya churn-rate atau kartu hangus di Indonesia yang mencapai 10-14%.
Turunnya biaya interkoneksi juga diyakini tak akan menggerus pendapatan operator karena pasar Indonesia sensitif terhadap harga. Penurunan biaya 1% dapat berpengaruh kepada kenaikan penggunaan telepon hingga 40%. Sehingga operator pendapatannya tetap meningkat.
Apapun itu, bagi pengguna layanan operator sendiri sebenarnya tidak rumit-rumit amat. Bila tarif bertelepon bisa lebih murah, kenapa harus dibikin mahal?