ArenaLTE.com - Melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), pemerintah memastikan lelang frekuensi 2.1 GHz dan 2.3 GHz dilakukan secara bersamaan. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara memastikan dokumen tender akan dibuka kepada publik awal Maret 2016.
Diharapkan pada Juni mendatang, penetapan pemenang lelang sudah dapat diketahui. Saat ini draft Peraturan Menteri (PM) mengenai tata cara seleksi sudah dibuka oleh Kominfo dan siap untuk diuji publik.
Menanggapi kepastian lelang frekuensi yang akan dilakukan oleh pemerintah tersebut, Komisioner Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih, S.E menyambut baik. Namun Alamsyah mewanti-wanti pemerintah, dalam melakukan lelang frekuensi khususnya di 2.3 GHz. Kominfo harus mempertimbangkan rekomendasi yang diberikan Ombudsman kepada PT Corbec Communication.
Rekomendasi Ombudsman tersebut adalah Kominfo harus memberikan Penomoran/Kode Akses ke Corbec dan menjamin interkoneksi. Selain itu Kominfo diminta untuk menerbitkan izin pita frekuensi di spektrum 2.3Ghz dengan lebar pita minimal 15Mhz kepada Corbec, pada blok pita yang tidak terpecah. Yakni dimulai dari frekuensi 2.300 Mhz hingga 2.315 Mhz.
Selain itu Kominfo juga diminta agar melakukan evaluasi kinerja pada Corbec dalam menjalankan kewajibannya serta mengenakan pencabutan izin pita frekuensi jika perusahaan tak berhasil memenuhi kewajibannya.
“Seharusnya Kominfo dapat berkomunikasi dengan Corbec untuk mencari jalan keluar yang terbaik sehingga masalah ini terselesaikan. Kominfo bisa mengikuti rekomendasi yang diberikan Ombudsman atau alternatif lain yang membuat Corbec happy. Jika pemerintah bisa memfasilitasi Corbec untuk masuk ke dalam perusahaan konsolidasi BWA itu juga bagus,” ucap Alamsyah.
Seperti diketahui, dalam dokumen uji publik mengenai tatacara lelang frekuensi 2.1 Ghz dan 2.3 Ghz pasal 7 huruf 1 tertulis peserta seleksi hanya dapat memenangkan pita frekuensi radio 2.1 GHz atau pita frekuensi radio 2.3 GHz.
Mengenai aturan yang tertuang pada tatacara lelang frekuensi 2.1 Ghz dan 2.3 Ghz yang terbilang aneh tersebut, Alamsyah tidak sependapat. Menurut Alamsyah, jika Kominfo mengatakan lelang frekuensi ditujukan untuk menjawab isu kapasitas, seharusnya Kominfo maupun BRTI tidak boleh membatasi operator yang benar-benar membutuhkan frekuensi untuk ikut dalam lelang tersebut.
“Aturan mengenai peserta seleksi hanya dapat memenangkan pita frekuensi radio 2.1 GHz atau pita frekuensi radio 2.3 GHz itu tidak ada dalam regulasi dan perundang-undangan. Sehingga Kominfo tidak boleh membuat aturan demikian,” terang Alamsyah.
Jika pemerintah ingin membatasi operator yang utilisasinya rendah untuk ikut lelang, seharusnya pemerintah bisa membuat kreteria operator mana saja yang boleh ikut. Karena frekuensi merupakan barang publik dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk pelayanan publik, maka peserta yang boleh mengikuti lelang adalah operator yang kapasitasnya sudah mendekati maksimal.
Seharusnya Kominfo melihat kebutuhan frekuensi masing-masing operator. Harus ada evaluasi dalam penggunaan frekuensi sebelum peserta dapat mengikuti lelang.
Alamsyah menilai hingga saat ini masih banyak operator telekomunikasi yang utilisasi frekuensinya rendah. Agar utilisasi operator tersebut tinggi, Ombudsman mendesak pemerintah untuk dapat bertindak tegas kepada operator telekomunikasi untuk dapat memenuhi semua komitmen pembangunan yang telah disepakati dalam modern licensing telekomunikasi.
Ombudsman juga akan mendesak Kominfo untuk membuka data progres komitmen pembangunan seluruh operator. Jika komitmen pembangunan dianggap rahasia perusahaan, Ombudsman meminta agar data yang dibuka tidak terlalu rinci. Misalnya perkembangan pembangunan masing-masing operator di setiap Kabupaten Kota yang mereka bangun.
Lebih jauh, Ian Yosef Matheus Edward dari Pusat Studi Kebijakan Industri dan Regulasi Telekomunikasi – ITB mengatakan lelang frekuensi 2.3 Ghz yang hanya 15 MHz, tidak efektif dan efisien.
Pasalnya, untuk dapat menjalankan teknologi LTE TDD (Long Term Evolution Time Division Duplexing) frekuensi 2.3 Ghz secara efektif, minimal operator tersebut harus memiliki lebar pita 20 Mhz. “Dengan teknologi yang ada saat ini, lebar pita hanya 15 Mhz tidak akan optimal,” tutur Ian.
Semakin besar lebar pita yang dimiliki, maka semakin murah investasi yang dikeluarkan oleh operator. Pada kanal 2.3 Ghz, seharusnya pemerintah dapat melakukan lelang per 30 MHz agar bisa apple-to-apple dengan operator yang telah beroperasi di pita tersebut, Smartfren.
“Jika pemerintah mau memberikan equal treatment kepada seluruh pelaku usaha telekomunikasi di frekuensi 2.3 Ghz, harusnya Kominfo bisa melelang 30 MHz. Tujuannya agar kualitasnya sama dan menciptakan equal playing field,” terang Ian.
Lelang Frekuensi 2.1 GHz dan 2.3 GHz, Aturan Main Harus Adil
Artikel Menarik Lainnya:
- Opensignal Ungkap Perbedaan Akses Jaringan 4G LTE Indonesia Di Pedesaan Dan Perkotaan
- Indosat Ooredoo & Tri Hutchison Menangkan Lelang Frekuensi 2,1GHz
- Lelang Frekuensi 2,3GHz Masih Terkendala Hukum
- Kominfo Dianggap Abaikan Konsultasi Publik Lelang Frekuensi
- Kemkominfo Diskusikan Soal Lelang Frekuensi dengan LKPP