Langkah ini diharapkan dapat memperluas akses internet tetap (fixed broadband) yang lebih terjangkau bagi masyarakat, terutama untuk sektor rumah tangga, pendidikan, dan kesehatan.
Namun, lelang frekuensi ini menghadirkan peluang sekaligus tantangan. Hal ini menjadi topik diskusi dalam forum Morning Tech bertajuk “Lelang Frekuensi, Untuk Siapa?” yang digelar di Jakarta pada Senin, 24 Februari 2025.
Peluang Akses Internet Murah
Koordinator Kebijakan Penyelenggaraan Infrastruktur Digital Komdigi, Benny Elian, menegaskan bahwa spektrum ini akan digunakan untuk menghadirkan layanan internet berkualitas dengan harga terjangkau.
“Kami ingin menghadirkan internet yang lebih murah bagi masyarakat, dengan tarif berkisar Rp 100.000 hingga Rp 150.000 per bulan untuk kecepatan hingga 100 Mbps,” ujar Benny.
Komdigi menargetkan lelang 1,4 GHz selesai pada semester pertama 2025, sebelum lelang spektrum 700 MHz dilaksanakan. Hingga saat ini, terdapat tujuh perusahaan yang menunjukkan minat terhadap frekuensi tersebut. Namun, Benny menyebutkan bahwa jumlah peserta dapat bertambah saat proses lelang resmi dibuka.
Tantangan Regulasi dan Persaingan Pasar
Penetrasi fixed broadband di Indonesia masih tergolong rendah, dengan angka 21,31% dari total rumah tangga. Kecepatan unduh rata-rata juga hanya mencapai 32,07 Mbps, tertinggal dibandingkan negara-negara lain.
Oleh karena itu, pemanfaatan frekuensi 1,4 GHz melalui Broadband Wireless Access (BWA) dianggap sebagai solusi untuk memperluas cakupan internet dengan biaya lebih rendah.
Namun, menurut Dekan Fakultas Hukum Universitas Mitra Bangsa, Kamilov Sagala, transparansi dalam proses lelang harus dijaga untuk mencegah praktik monopoli.
“Frekuensi adalah sumber daya terbatas yang harus dikelola dengan adil. Jika tidak, hanya segelintir perusahaan yang akan mendapatkan manfaat,” tegas Kamilov.
Ia juga mengingatkan bahwa dengan tujuh pihak yang sudah berminat, persaingan bisa menjadi ketat dan harga spektrum bisa melonjak tinggi jika mekanisme lelang hanya berbasis harga.
Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Sigit Puspito Wigati Jarot, menyoroti pentingnya pembangunan infrastruktur digital yang berkualitas serta pengembangan talenta digital, terutama di kalangan generasi muda.
“Saat ini, Indonesia tertinggal dalam pengembangan 5G, dengan kecepatan rata-rata baru mencapai 30 Mbps, jauh tertinggal dibandingkan negara-negara di ASEAN,” ungkapnya.
Ia menekankan bahwa regulasi yang adaptif dan kolaboratif sangat dibutuhkan untuk memastikan transformasi digital berjalan berkelanjutan dan kompetitif.

Model Kompetisi dan Implikasi bagi Industri
Dalam dunia telekomunikasi, berbagai model kompetisi dapat diterapkan dalam pengelolaan frekuensi ini. Sigit menjelaskan bahwa terdapat beberapa opsi, mulai dari Infrastructure-Based Competition, Wholesale Access Model, hingga Public-Private Partnership.
“Setiap model memiliki kelebihan dan tantangan masing-masing. Untuk Indonesia, pendekatan hibrida yang melibatkan pemerintah daerah bisa menjadi solusi yang tepat,” ujarnya.
Selain itu, tarif layanan setelah lelang juga harus menjadi perhatian. Ia menyoroti bahwa harga untuk layanan seluler dan FWA (Fixed Wireless Access) sebaiknya dibedakan.
“Kompetisi harga seluler bersifat nasional, sedangkan harga FWA bisa lebih variatif, bahkan hingga tingkat lokasi rumah. Oleh karena itu, sebaiknya ada perbedaan harga FWA antara wilayah perkotaan dan pedesaan agar lebih adil,” pungkasnya.
Dengan berbagai peluang dan tantangan yang ada, keberhasilan lelang frekuensi 1,4 GHz sangat bergantung pada kebijakan yang diambil oleh Komdigi.
Jika proses lelang dilakukan dengan transparan dan adil, maka langkah ini dapat menjadi dorongan besar bagi peningkatan akses dan kualitas internet di Indonesia.