Fintech Perlu Regulasi Demi Membuka Peluang Bisnis Baru di Indonesia

ArenaLTE.com - Pesatnya perkembangan digital, menyebabkan berbagai cara tradisonal yang kerap dilakukan masyarakat menjadi berubah ,salah satunya di bidang jasa keuangan. Adalah financial technology (fintech) yang saat ini tengah berkembang di Indonesia. Tapi, layanan financial berbasis internet ini membutuhkan dukungan regulasi supaya bisa melesat.
 
Belum lama ini OJK mendukung penyelenggaraan seminar Strategi Fintech Merebut Peluang Pasar di Indonesia. Seminar ini digelar Royal Media Integrated Communication bersama Dewan Kehormatan PWI Provinsi DKI bekerjasama dengan Koran SINDO guna membahas masa depan fintech di Tanah Air.

“Fintech adalah sebuah perkembangan di bidang finansial yang menggunakan sarana tekhnologi, tapi perkembangannya belum memiliki regulasi memadai,” ujar Kamsul Hasan, Dewan Kehormatan PWI Jaya. Menurut dia, IndoFintech2017 seri pertama ini memetakan masalah yang harus diperhatikan pemerintah, OJK, Bank Indonesia (BI) dan lebih jauh Kominfo karena fintech adalah gabungan finansial dan internet.

Amy Ibrahim Atmanto, dari Royal Media Integrated Communication, selaku Ketua Panitia Penyelenggaraan IndoFintech2017, menambahkan jika IndoFintech2017 merupakan bagian  upaya mendorong perkembangan industri dan layanan fintech di tanah air. “Di tengah gelombang perubahan yang tengah berlangsung di era digital saat ini, perlukan upaya bersama untuk bahu membahu seluruh pemangku kepentingan di industri dan layanan fintech agar masyarakat di tanah air mendapatkan manfaat maksimal dari perkembangan yang sedang berlangsung ini.”

Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Muliaman D Hadad mengakui, perkembangan digital jasa keuangan agak terlambat ketimbang bidang lain, seperti media atau transportasi. Penyebabnya,  jasa keuangan adalah bidang yang memiliki risiko, sehingga perlu ada aturan agar bisa mengembangkan digital jasa keuangan. ”Maklum, ini menyangkut sumber pendanaan dan memerlukan aturan.”

Yang jelas, layanan jasa keuangan secara digital ini bisa membuat orang bisa secara mandiri ke sumber keuangan, yakni pemodal. Hal yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan secara tradisional. “Saya melihat ada tiga perspektif yang terjadi di jasa keuangan digital ini,” terang Muliaman.

Dari sisi konsumen, keberadaan fintech membuat transaksi keuangan bisa menjadi cepat, murah, dan langsung bisa melayani konsumen. Salah satunya adalah yang dibilang bisa langsung ke pemodal. Ini bisa memunculkan model bisnis baru.

Kedua, bagi pemodal bisa langsung ke konsumen tanpa perlu ada perantara. Keberadaan fintech juga menciptakan dekonstruksi. Ini membuat rantai ke sumber dana jadi terpangkas. Ketiga, perspektif dari otoritas adalah fintech memang harus diatur ketat baik oleh BI atau OJK. Nah, apakah aturan yang ada misalnya POJK No.77/2016 itu direvisi, bisa ditambah atau juga diubah.

Berdasarkan tiga perspektif itu OJK melihat, ada peluang di fintech yang bisa membuat industri keuangan menjadi maju. Banyak bidang yang bisa dimasuki fintech, misalnya di distribusi channel, bisa masuk ke segmen yang lebih luas seperti ke ekonomi mikro dan segmem bawah. Jadi fintech bisa meluaskan pasar. Hal inilah yang tidak bisa dilakukan oleh perbankan konvensional.

Hendrikus Passagi, Peneliti Eksekutif Senior Departemen Kebijakan Strategis OJK memaparkan, perkembangan bisnis fintech di Indonesia memang lambat, karena masih tahap wacana atau rencana. “Kami condong melihat fintech di Indonesia itu untuk payment dan pendanaan. Ini memang bisa mendukung pengembangan inklusi keuangan,” beber Hendrikus.

Potensinya besar karena kebutuhan dana di Indonesia bisa IDR 1.000 triliun per tahun, dan 60% masih di Jawa. Selain itu masih ada 50 juta UMKM yang unbankable. ”Ini jelas peluang. Sudah begitu jumlah lembaga fintech di Indonesia masih sedikit, baru 50-an, padahal OJK menghitung, potensinya bisa mencapai 600-an.”

Sedangkan Bhima Yudhistira, peneliti Indef menyebutkan,  bila ada penghambat fintech  adalah dari sektor perbankan sendiri yang merasa terancam. “Padahal bila bank mau bergabung dengan fintech, laba bisa tumbuh 50%, bandingkan dengan yang tidak bergabung, laba bisa merosot 30%,” terang Bhima.

Ke depan fungsi bank secara universal bakal diagregrasi oleh fintech. Jadi fungsi bank sebagai pembayaran, simpan dan pinjam dan lainnya akan diganti dengan fintech. Demikian pemaparan Yosamartha, Pimpinan Fintech Office Bank Indonesia (BI).

“Dan hal itu sudah terjadi saat ini. Ada fintech yang fokus sebagai agregator dan lainnya,” terang Yosamartha.  “Nah, bisa saja dalam lima sampai 10tahun ke depan, seluruh fungsi fintech bisa melebur menjadi satu dan fungsi bank universal bisa menjadi fintech universal.”

Bagaimana respons regulator? Kalau di luar negeri beragam. Kalau di Jerman setiap fintech harus tunduk.di aturan mereka, maka di Inggris bisa diakomodir. Sedangkan di Indonesia, BI  harus bisa mengantisipasi perkembangan fintech.
Sedangkan Geert Warlop, Deputy Director TrueMoney International menyebut, pihaknya tertarik berbisnis di Indonesia karena potensinya yang besar. Masih ada sekitar 64% penduduk yang belum bankable dengan jumlah penduduk yang besar.

Sedangkan  M. Ajisatria Sulaiman, Direktur  Asosiasi Fintech Indonesia menjelaskan, fintech terbagi dua. Yakni fintech 2.0, berupa lembaga jasa keuangan yang menawarkan solusi konvensional, sudah lama diatur oleh negara.  Contoh: bank, asuransi, sekuritas dan lain-lain. Keunggulannya adalah  modal besar, nasabah dan kepercayaan konsumen.

Lalu fintech 3.0, yakni perusahaan teknologi yang menawarkan model bisnis baru, yang baru saja diatur oleh negara. Contoh: peer to peer lending, dompet elektronik, payment gateway, dll.  Keunggulan:  Kecepatan  dan adaptasi pengembangan produk.

Berdasarkan riset Statista, di tahun 2017 ini total transaksii fintech diperkirakan US$ 18,64 miliar. Dari jiumlah itu mayoritas mengalir ke digital payments sebesar US$ 18,61 juta. Business finance US$ 14 juta dan personal finance US$ 20 juta.

Potensi fintech di Indonesia masih sangat besar. Pasarnya adalah 49 juta UMKM yang unbankable  Lalu gap kebutuhan pembiayaan nasional dan kapasitas perbankan Rp 988 triliun. Sementara peer to peer lending baru dibawah Rp 150 miliar.

Asosiasi FinTech Indonesia sendiri terdaftar secara resmi di Kemenkumham pada Maret 2017. Dan sejak itu telah menjalin kerjasama erat dengan regulator dalam perumusan kebijakan dan agenda fintech skala nasional.

Leave a Comment