ArenaLTE.com - Kemelut yang melanda TikTok sepertinya tak habis-habis. Malah sepertinya bertambah ruwet. Terakhir, Kevin Mayer, sang CEO TikTok, menyatakan mengundurkan diri. Padahal, mantan Chief Strategy Officer Disney itu belum lama menjadi orang nomor satu di TikTok. Baru tiga bulan saja. Tapi Kevin memutuskan berhenti dengan alasan yang belum jelas.
Memang, sejauh ini tak ada keterangan resmi dari ByteDance –induk perusahaan TikTok, terkait alasan pengunduran diri Kevin. ByteDance, seperti dalam keterangan resminya yang disampaikan kepada Financial Time, hanya menyebut, sangat menghargai keputusan Kevin. Sekaligus, menyampaikan terimakasih atas kontribusi Kevin yang relatif singkat.
Banyak spekulasi yang beredar. Salah satunya adalah, Kevin sudah “puyeng” dan tak sanggup lagi menghadapi situasi pelik yang dialami TikTok. Khususnya terkait dengan ancaman Presiden AS, Donald Trump, yang bernafsu ingin melarang TikTok beroperasi di negaranya. Alasannya klasik. Trump berdalih ini terkait dengan isu keamanan nasional.
Trump khawatir, aplikasi video pendek itu akan dimanfaatkan Cina untuk “memata-matai” AS. Platform video seperti itu bisa dimanfatkan sebagai alat spionase. Belum lagi data-data pengguna. Tercatat ada 100 juta lebih pengguna TikTok di AS.
ByteDance sebenarnya sudah berusaha keras menepis segala kecurigaan dan ketakutan yang berlebihan itu. Karena itulah mereka merekrut Kevin Mayer, yang warga AS, sebagai Chief Operating Officer (COO) ByteDance, sekaligus sebagai CEO Global TikTok, pada 1 Juni lalu. Tak cukup dengan itu, mereka juga merekrut orang Amerika sebagai Global Chief Security Officer. Bahkan penasehat perusahaan untuk pasar AS, juga diisi orang ber-KTP AS. Ditambah lagi, team yang mereview konten untuk pengguna Amerika, juga diisi warga AS.
Langkah merekrut warga AS ini, sebagai upaya meyakinkan semua orang bahwa meskipun notabene sebagai perusahaan Cina, tapi TikTok tak ada urusan sama sekali dengan Pemerintah Cina. Mereka menyatakan akan mengabaikan segala permintaan dari Pemerintah Cina, terkait data-data pengguna. Dan Pemerintah Cina tak akan bisa menggunakan jalur hukum untuk menjangkau para warga AS yang bekerja untuk TikTok. Agar lebih meyakinkan lagi, TikTok menyimpan server yang melayani pengguna di AS, di wilayah Amerika dan Singapura. Bukan di Cina. Jadi, apalagi yang mesti dikhawatirkan?
Toh, semua usaha keras untuk meyakinkan bahwa TikTok aman dari tindak spionase, tak membuat Presiden Trump bergeming. Dia tetap berniat melarang TikTok beroperasi, meski belakangan sikapnya agak melunak. TikTok boleh beroperasi, asalkan ada investor atau perusahaan asal AS, yang membeli kepemilikan TikTok.
ByteDance sendiri membuka pintu untuk opsi itu. Dan kabarnya Microsoft Corp berminat membelinya. Namun proses pengambil alihan itu sepertinya kurang berjalan mulus. Sementara deadline yang ditetapkan Trump, pada 15 September mendatang harus sudah deal, makin mendekat. Dengan waktu yang tersisa sekitar dua pekan lagi, tanpa ada kemajuan yang berarti, proses akuisisi itu terancam batal.
Sangat boleh jadi, Kevin merasa tak sanggup mengatasi dan mencari solusi untuk menyelamatkan operasi TikTok di AS. Maka, dia pun menyanyikan ..For auld lang syne dear TikTok.