ArenaLTE.com - Indonesia adalah negeri yang rawan bencana. Sebut saja, gempa bumi, longsor, banjir, kebakaran hutan, gunung meletus, angin ribut, tsunami, semua ada. Fakta lainnya, setiap kali ada bencana, penanganannya kerap model pemadam kebakaran. Maksudnya, begitu bencana terjadi, baru grabak-grubuk menangani. Tidak pernah bersiap mengantisipasi bilamana bencana terjadi.
Seperti yang diceritakan Kadek Agus Dwi Putrawan, seorang Regional Technical Support Huawei, yang kebetulan ditempatkan di Lombok ketika gempa bumi hebat mengguncang Bumi Rinjani itu. Informasi yang didapat masyarakat simpang siur, ada yang bilang gempa berasal di gunung, sehingga warga yang tinggal di wilayah pegunungan, kalang kabut turun ke dataran rendah. Di lain pihak, warga di tepian pantai mendapat info gempa berpusat di laut dan berpotensi tsunami. Sehingga, mereka berbondong-bondong mengungsi ke dataran tinggi.
Kekacauan informasi membuat kekacauan suasana. Belum lagi simpang siurnya data mengenai area yang terkena dampak, jumlah korban dan kantong-kantong pengungsian. Itu yang mengakibatkan penanganan pasca gempa menjadi serabutan, penyaluran bantuan terhambat karena kurangnya data, koordinasi antar lembaga serta pihak pemberi bantuan juga berlangsung sporadis.
Belajar dari hal itu, Huawei sebagai perusahaan teknologi dan penyedia infrastruktur teknologi informasi, menawaran solusi manajemen bencana, agar ke depannya, penanganan dan pengelolaan bencana dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif. Tidak serabutan seperti yang sudah-sudah. “Indonesia masih dihadapkan dengan tantangan terkait sistem peringatan bencana serta respon terintegrasi dalam penanganan bencana,” kata Arri Marsenaldi, Executive Product Manager Huawei Indonesia.
Huawei menyebut solusi manajemen bencana itu sebagai 2P2R (Prevention, Pre-warning, Response, Recovery). Solusi itu merupakan pengelolaan menyeluruh pada bencana, meliputi pencegahan, kesiagaan, tanggap darurat dan pemulihan bencana.
Gambarannya begini, teknologi ini akan mendeteksi dan memperkirakan potensi bencana yang akan terjadi. Bila ada tanda-tanda bencana, system akan memberi peringatan dini. Saat itulah tanggap darurat bisa dilakukan, dengan mengungsikan warga yang berada di area (potensi) bencana, ke spot-spot aman yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pasca bencana, system akan mengkalkulasi luas area yang terkena dampak, taksiran kerugian, serta penanganan yang harus dilakukan.
Arri menjelaskan, penggelaran sistem manajemen bencana ini membutuhkan system pusat komando terintegrasi yang melibatkan kolaborasi pihak-pihak terkait, baik pemerintah pusat dan daerah, banda penanggulangan bencana, serta pihak pendukung lainnya. Sistem ini juga memerlukan data base dari berbagai sumber, seperti data demografi, sumber daya, catatan bencana, dan sebagainya. Data-data ini diperlukan untuk menganalisa dan mengkalkulasi potensi dan deteksi dini bencana. Serta, memberikan data-data apa yang harus dilakukan dalam langkah tanggap darurat dan recovery.
Dalam mendukung platform kolaboratif untuk memfasilitasi pihak-pihak terkait, Huawei memperkenalkan teknologi pengumpulan data multi kanal dan pengintegrasian data untuk analisa bencana secara cerdas, serta membangun analisis permodelan bencana untuk peringatan dini secara tepat kepada pihak-pihak terkait, dan dalam waktu yang tepat pula.
Sistem manajemen bencana ini memerlukan sejumlah perangkat pendukung, seperti sensor, kamera pengawas, mobile base station, dan jaringan eLTE. “Kenapa menggunakan eLTE? Karena teknologi ini ringkas dan tak tergantung pada jaringan (komersial) yang ada. Bisa beroperasi secara mandiri. Ini untuk mengantisipasi hilangnya jaringan operator akibat bencana,” jelas Arri. Sementara untuk bank data dan analisa data, diperlukan server mumpuni dengan spesifikasi tinggi.
Arri mengungkapkan, solusi manajemen bencana besutan Huawei ini sudah diterapkan di 130 negara di dunia. Di antaranya Trinidad Tobago, Ghana, Kenya, Mesir, Arab Saudi, Belanda, Inggris, Turki, Laos, China, dan sebagainya. Soal berapa investasi yang dibutuhkan untuk menggelar system ini, Arri hanya menyebutkan tergantung dari kondisi wilayah, luas cakupan, area beresiko bencana tinggi. Itu yang akan menghasilkan, berapa kebutuhan yang harus disediakan, menyangkut perangkat dan operasionalnya. “Jadi sangat tergantung pada wilayah atau negara masing-masing,” tukas Arri.
Melihat bagaimana system manajemen bencana ini bisa membantu penanganan bencana di Tanah Air secara efektif dan efisien, seharusnya Indonesia pun mengimplementasikan solusi ini. Agar, tak terulang lagi penanggulangan ala dadakan seperti yang biasanya terjadi. Kecuali, memang ada oknum-oknum yang berkepentingan dengan system penanggulangan bencana yang amburadul.