Selain Persoalan Hukum, Ini Alasan Dilarang Penggunaan Software Ilegal

ArenaLTE.com - BSA, perusahaan konsultan hukum untuk industri software global, mendorong para pemimpin bisnis di Indonesia untuk mengadopsi peraturan “zero tolerance” dan menghapus penggunaan software tanpa izin dari perusahaan mereka. Dengan mematuhi peraturan ini, perusahaan dapat meningkatkan pertahanan terhadap pembobolan data dan kejahatan siber, mengurangi kerugian finansial dan risiko hukum, sekaligus menumbuhkan rasa aman bagi investor. BSA mendukung misi ini dengan menindaki hampir 4.000 pelanggaran hukum per tahun terkait penegakan hak cipta global.

Baru baru ini BSA mengimplementasikan kampanye “Legalize and Protect” untuk mengedukasi masyarakat Indonesia dan ASEAN tentang kesadaran risiko dan mendorong perusahaan-perusahaan untuk melegalkan aset software mereka. Kampanye ini dilakukan melalui berbagai jalur komunikasi, termasuk melalui media sosial maupun  jangkauan langsung bersama dengan pemerintah lokal guna mengimbau para pengguna tentang risiko dan konsekuensi penggunaan software tidak berlisensi.

Menurut International Data Corporation, perusahaan intelijen pasar global, pebisnis dan para investor dapat meningkatkan keuntungan hingga 11 persen sebagai dampak dari peralihan ke penggunaan software resmi.

Data BSA menunjukkan bahwa banyak perusahaan Indonesia yang harus mengimplementasikan penggunaan software resmi, jika tidak, mereka akan membahayakan keamanan siber nasional yang dapat menyebabkan pembobolan data, kerugian finansial, dan konsekuensi hukum.

“Penggunaan software tanpa izin atau ilegal menunjukan pengambilan keputusan yang buruk serta pengambilan risiko yang tidak penting,” kata BSA Senior Director Tarun Sawney. “Investasi equitas juga tidak aman di dalam perusahaan-perusahaan yang mengambil risiko seperti itu, karena mereka dapat dengan mudah kehilangan keunggulan kompetitif mereka jika pembobolan data terjadi. Software legal dan sah, di sisi lain, merupakan jenis investasi yang dapat membantu meningkatkan keamanan perusahaan.”

Risiko Keamanan Siber yang Mahal

Malware merupakan risiko utama dari penggunaan software tanpa izin, yang dapat digunakan untuk mencuri data personal atau perusahaan, mengawasi aktivitas, merusak fungsi perangkat, atau membajak sistem sumber daya untuk keuntungan pembuat malware. Biaya perbaikan sebuah kasus malware dapat mencapai Rp 145 juta per komputer, dan membutuhkan waktu hingga 50 hari untuk dikerjakan, serta dapat merugikan perusahaan besar sekitar Rp 35 miliar. Faktanya, 60 persen dari perusahaan-perusahaan kecil yang terkena serangan siber dapat merugi hingga menyebabkan kebangkrutan hanya dalam kurun waktu enam bulan.

“Saat ini, lebih dari 80 persen dari software yang digunakan di Indonesia merupakan software tanpa izin, yang membuatnya sangat rentan terhadap kejahatan siber yang juga bisa menghambat pertumbuhan perusahaan,” kata Tarun. “Perusahaan besar bisa mengalami kerugian besar, dan perusahaan yang lebih kecil dan startup bisa gulung tikar akibat kerugian yang bisa dialami. Tentu saja, kerugian seperti ini akan sangat merugikan para investor.”
Selain potensi hacking, kehilangan data, dan downtime perusahaan, software yang terinfeksi dapat membahayakan reputasi perusahaan publik di depan pemegang saham, pegawai dan klien.

Software modern kini menggunakan model langganan, sebuah investasi yang nilainya kecil dan terus memberikan pembaruan reguler untuk keamanan dan fungsionalitas bagi para pengguna. Pembaruan seperti ini tidak didapatkan oleh software tidak berlisensi, yang mengakibatkan perusahaan menjadi lebih rentan terhadap serangan. Banyak hackers dan pembuat malware yang memang secara khusus menargetkan kelemahan yang dimiliki software tidak berlisensi. 

Peringatan Hukum dari Kementerian Hukum

Di Indonesia, ada beberapa pendekatan yang telah diprakarsai oleh sektor swasta dan pemerintah untuk menghentikan penggunaan software tidak berlisensi.
Dari sektor swasta, kampanye Legalize and Protect BSA sejauh ini telah terbukti efektif di Thailand, Filipina, dan Vietnam. Akan tetapi, tidak cukup banyak perusahaan Indonesia yang menerapkan kebijakan untuk membersihkan lingkungan bisnis dari software tidak berlisensi, dan bahwa keamanan siber nasional negara akan merugi jika pemimpin tidak mengambil tindakan tegas untuk melindungi bisnis mereka.

Di lain sisi, pemerintah telah secara aktif menyediakan berbagai cara untuk mengurangi angka penggunaan software tidak berlisensi. Hal ini terdiri dari kegiatan sosialisasi, edukasi, dan juga penegakan hukum di bawah UU Hak Cipta no 28 tahun 2014 dimana masyarakat dapat melakukan pengaduan kasus penggunaan software tidak berlisensi oleh perusahaan.

 “Pemerintah Indonesia menentang penggunaan software tidak berlisensi. Kami ingin mendorong pemilik bisnis untuk hanya menggunakan software berlisensi untuk kepentingan keamanan dan kompetensi perusahaan. Software tidak berlisensi memang menggiurkan di awal, tapi pada akhirnya akan merugikan bisnis Anda,” kata Irbar Susanto S.H., M.H. selaku Kasubdit Pencegahan & Penyelesaian Sengketa Direktorat Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Selain itu, pemerintah Indonesia juga bertanggung jawab untuk melindungi hak cipta pembuat software. Kami selalu terbuka untuk setiap laporan dan akan melakukan yang terbaik untuk menegakkan hukum melalui peraturan dan staf ahli kami,” tambahnya.

Leave a Comment