ArenaLTE.com - ArenaLTE.com - Meski hubungan diplomatik antara Amerika Serikat dan RRC (Republik Rakyat Cina) kerap mengalami pasang surut, namun untuk urusan dagang dan industri komersial, kedua negara raksasa ini jelas saling terikat sat sama lain. Bahkan bagi rakyat Cina, smartphone idaman mereka adalah iPhone keluaran Apple. Seperti halnya di Indonesia dan beberapa negara berkembang, kepemilikan iPhone bisa mencitrakan status sosial seseorang.
Tapi baru-baru ini Apple kembali dibuat pusing di Cina, pasalnya mereka harus kehilangan keekslusifan atas brand mereka.Dilansir dari situs Cellular-new.com (4/5/2016), kasus ini disebabkan ada sebuah perusahaan pembuat sarung gadget (case) dari kulit, yakni Xintong Tiandi yang juga memegang hak merek dagang iPhone semenjak tahun 2010, dibawah peraturan nomer 18 yang mengatur barang hasil dari kulit.
Tepatnya pada 31 Maret yang lalu, pengadilan Beijing Municipal High People telah menolak putusan banding yang diajukan oleh Apple sebelumnya. Xintong Tiandi sendiri telah menjual sejumlah produk “IPHONE,” seperti dompet, case passport, dan khususnya untuk case ponsel. Perusahaan ini mendaftarkan trademark di China pada tahun 2007. Ini merupakan tahun yang sama ketika Apple meluncurkan iPHone di Amerika Serikat.
Oleh karena itu, pengadilan di Cina memutuskan untuk menghilangkan keeksklusifan merek dari Apple. Dengan begini, Apple harus puas berbagi merek dagang dengan perusahaan tersebut.
Apple sendiri sudah mendaftarkan paten merek dagang untuk nama iPhone sejak 2002 silam, namun untuk pendaftaran lokal, baru diterima oleh pengadilan di Cina pada 2013 silam.
"Kami juga membuat hasil terbaik dari penamaan 'iPhone', dan bekerja bersama (dengan Apple) untuk memberikan keuntungan bagi pengguna iPhone," tutur perwakilan Xingtong Tiandi. Selain kejadian tersebut, ternyata Apple juga pernah merasakan hal yang sama beberapa tahun lalu saat harus kehilangan hak atas keekslusifan merek mereka di Brasil. Selain itu, Apple juga pernah kehilangan hak atas nama iPad kepada sebuah perusahaan di Cina. Mungkin beginilah nasib punya merek dagang populer yang generik.