Pada akhir tahun 2021, IUCN (International Union for Conservation of Nature), Huawei, dan Institut Penelitian Taman Nasional Hainan meluncurkan proyek di bawah kemitraan IUCN-Huawei Tech4Nature untuk mengeksplorasi, bagaimana teknologi digital dapat membantu menyelamatkan populasi owa Hainan.
"Ilmu pengetahuan dan teknologi dapat sangat meningkatkan ketersediaan dan ketepatan waktu data dan informasi, dan memberikan lebih banyak kemungkinan, peluang, dan inovasi untuk konservasi alam," kata Profesor Wang Jichao, Wakil Presiden Institut Penelitian Taman Nasional Hainan.
Kenapa owa Hainan? Primata yang hidup di hutan hujan kawasan Bawangling, yang masuk Taman Nasional Hainan, adalah salah satu hewan yang terancam punah. Jumlahnya di habitat aslinya tinggal 36 ekor saja, tersebar di daerah seluas 10 km2.
Upaya pelestarian monyet tak berekor itu, yang dilakukan sebelumnya, terbukti sangat sulit. Mereka tersebar di daerah yang terlalu luas, sehingga menyulitkan untuk memantau dan mendata gerak-gerik hewan itu. Terlebih, owa-owa khas Hainan itu juga hidup di pucuk-pucuk pohon, yang membuatnya makin sulit terdeteksi.
Selama ini, petugas (konservasi) memakai teknik perekaman suara untuk memantau populasi, perilaku, distribusi, ancaman yang dihadapi, dan keberhasilan tindakan konservasi. Owa Hainan berkomunikasi dengan mengeluarkan suara yang unik dank has. “Mereka bersuara keras setiap pagi dan memiliki sistem komunikasi audio yang sangat kompleks,” kata Wei Fuliang, anggota Tim Pemantau Owa Hainan.
Untuk itu, tim menggunakan perangkat perekam suara offline, yang ditempatkan di titik-titik tertentu. Hasil rekaman akan dipantau dan dikumpulkan sebagai data selama tiga bulan sekali. Persoalannya, perangkat perekam suara itu hanya dapat menyimpan data (rekaman) selama 15 hari saja. Karenanya, sebagian besar perangkat perekam tidak aktif, yang menyebabkan kekosongan besar pada data yang dibutuhkan dalam mendukung upaya konservasi yang efektif.
Permasalahan itulah yang coba diatasi dengan membawa teknologi digital dalam upaa konservasi owa Hainan. Para mitra mengembangkan dan menerapkan solusi yang terdiri dari konektivitas nirkabel, penyimpanan cloud, dan analitik AI. Data audio dari perangkat dikirim kembali ke cloud selama 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu.
Dengan algoritme yang dilatih untuk mengidentifikasi panggilan owa dengan akurasi (pengenalan suara) 89,2%, para mitra berencana menggunakan kerangka kerja AI Huawei untuk mengembangkan sistem identifikasi dan klasifikasi otomatis, yang akan membuat ID suara unik untuk setiap owa. Tingkat presisi ini dapat membantu pakar konservasi memantau anggota individu dari keluarga owa dan mengembangkan strategi repopulasi sesuai target.
"Teknologi digital terus membuktikan nilainya dalam mencapai hasil konservasi yang tidak mungkin dilakukan bahkan pada satu dekade lalu," kata Du Juan, Kepala program TECH4ALL Huawei. "Mengembangkan solusi skenario yang lebih spesifik dengan para mitra, dapat membantu kami lebih memahami ancaman terhadap keanekaragaman hayati di semua jenis ekosistem dan memandu langkah-langkah konservasi yang ditargetkan yang memiliki dampak nyata," katanya lebih lanjut.
Selain proyek owa Hainan di China, IUCN dan Huawei menjalankan beberapa proyek Tech4Nature lainnya di seluruh dunia, menerapkan solusi teknologi untuk konservasi yang selaras dengan Daftar Hijau IUCN dan inisiatif TECH4ALL Huawei. Ini termasuk restorasi terumbu karang di Mauritius, pemantauan jaguar di Meksiko, dan meningkatkan transparansi dan keterlacakan transaksi penyerap karbon hutan di Swiss.
Digitalisasi proyek konservasi owa Hainan itu, sejatinya bisa pula diangkut ke Indonesia, dan diterapkan pada upaya pelestarian sejumlah hewan khas Indonesia yang (juga) terancam punah. Sebut saja Badak Jawa (Rhinecheros Sondaicus), yang sekarang tinggal puluhan saja jumlahnya dan hanya dijumpai di Ujung Kulon. Begitu pula dengan nasib Harimau Sumatra (Panthera Tigris Sumatrae) yang populasinya terus menyusut akibat penggundulan hutan dan perburuan liar.