ArenaLTE.com - Tahun ini, Jakarta Fashion Week yang ke-11 kembali hadir dengan lebih dari 200 desainer dan label, baik domestik maupun internasional. Bayangkan jika Jakarta Fashion Week tahun depan memberikan pengalaman teknologi mixed reality dan Anda dapat mencoba pakaian desainer terbaru menggunakan virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) melalui cermin. Kapan Anda tahu bahwa pakaian yang akan Anda beli sesuai dengan gaya Anda?

Bayangkan berbelanja di butik pakaian mewah dengan mixed-reality, tanpa toko fisiknya. Atau perbaharui koleksi pakaian Anda dengan bantuan asisten tata busana digital yang dapat memindai busana yang Anda pakai dan memberitahu apa yang Anda butuhkan. Atau mengenakan baju yang dapat dilacak, sehingga para desainer dapat mengikuti siklus garmen tersebut agar mereka dapat merancang produk yang berkelanjutan.

Ide-ide tersebut mengatasi permasalahan yang seringkali timbul di dunia fashion, mulai dari hambatan penjualan pada toko offline hingga perihal keberlanjutan dalam produksi pakaian. Semua ide tersebut berasal dari para pelajar di London College of Fashion, sekolah bergengsi yang mengajarkan para desainer dan pebisnis fashion masa depan untuk mengubah praktik di industri dengan memanfaatkan keterampilan tradisional dan digital. 

Sekolah ini menawarkan banyak hal, mulai dari kursus membuat alas kaki dan desain pakaian hingga penelitian tingkat lanjut mengenai efek 3D dan teknologi yang dapat dikenakan.

“Kami tidak dapat mengabaikan bagaimana digital mempengaruhi kehidupan sehari-hari dan mengubah cara desainer, merek dan pengecer berinteraksi dengan konsumen,” kata Matthew Drinkwater, head of Fashion Innovation Agency, organisasi di sekolah yang menggunakan dan mengajarkan teknologi baru.

“Kami harus mempersiapkan siswa kami untuk menghadapi dunia yang kini berkembang sangat cepat.”

Dengan dimulainya tahun sekolah yang baru serta adanya New York dan London Fashion Weeks bulan ini, Matthew sangat tertarik dengan adanya potensi kreatif dari penggunaan teknologi terbaru seperti prototipe 3D untuk mengurangi limbah, mixed dan virtual realities untuk menghidupkan kembali industri ritel, kecerdasan buatan (artificial intelligence – AI) untuk menunjukkan permintaan konsumen.

Awal tahun ini, Matthew dan London College of Fashion bekerja sama dengan Microsoft untuk membuat program inkubator yang berfokus pada inovasi siswa di tiga bidang: mixed reality, kecerdasan buatan (AI) dan Internet of Things (IoT).

Selama tiga bulan, 30 siswa dari berbagai disiplin ilmu bekerja sama dengan para ahli Microsoft dan mentor fashion untuk mengembangkan prototipe dengan tema "Future of Fashion Incubator." Mereka dapat merasakan secara langsung kemampuan Microsoft HoloLens dan Azure dalam AI, IoT dan solusi berbasis data. Dan mereka mendapat masukan dari para ahli industri fashion terkemuka, mulai dari desainer asal London Charli Cohen hingga pakar mode fashion dari New York Natasha Franck, CEO Eon, perusahaan yang menyewakan koleksi fashion yang sedang tren.

Pada bulan Juni, siswa mempresentasikan proyek mereka di sebuah acara perayaan.

"Mereka benar-benar senang," kata Peter Hill, technical manager dari Digital Learning Lab, yang menjadi tuan rumah program inkubator. “Banyak yang mengatakan bahwa program itu adalah hal terbaik yang mereka lakukan selama menuntut ilmu di universitas, yang membuat mereka mampu memahami bagaimana teknologi dapat mengubah industri.”

Proyek para siswa termasuk asisten tata busana yang dapat memindai busana Anda dengan komputer dan memberikan saran mengenai apa yang Anda butuhkan dan dimana tempat berbelanjanya dengan Azure Machine Learning. Proyek lain menggunakan AI untuk mengklasifikasikan gambar seseorang dengan pakaian mereka - wanita dalam setelan, misalnya, atau pria dengan celana pendek - dekat tanda digital. Tanda itu kemudian menampilkan iklan yang ditargetkan berdasarkan target konsumen yang ada di dekatnya.

The DiDi: Data by Design Project menggunakan Azure IoT dan chip identifikasi frekuensi radio untuk membantu desainer melacak data pada kinerja garmen dalam berbagai kondisi cuaca dan kegiatan untuk membuat pakaian yang lebih tahan lama dan berguna.

“Dapat memamerkan karya yang membutuhkan banyak waktu untuk membuatnya sangat membanggakan,” kata mahasiswa fashion contour Anna Richards, anggota grup DiDi. “Saya benar-benar menyukai atmosfer yang ada dan bisa bertemu dengan orang-orang dari industri yang belum pernah saya temui sebelumnya."
 
Matthew mengatakan pihak universitas ingin mengulang program inkubator, yang elemen utamanya termasuk pengalaman langsung dan akses kepada para ahli. "Bekerja langsung dengan Microsoft membuatnya terasa nyata bagi para pelajar," tambah Matthew. “Mereka merasa membuat perubahan terhadap industri ini dan mampu mencari solusi untuk permasalahan kehidupan nyata.”

Dengan teknologi yang mengubah semua aspek fashion - mulai dari membuat dan menunjukkan koleksi dengan tujuan untuk menjual dan berinteraksi dengan pelanggan – Matthew telah bekerja keras mengeksplorasi berbagai ide baru. Pada bulan Februari, Fashion Innovation Agency milik Matthew membantu menciptakan acara dengan menggunakan realitas tertambah (augmented reality – AR) yang memukau di London Fashion Week pada pertengahan tahun ini. Dan tahun lalu, ia mengembangkan sistem fotogrametri untuk menampilkan barang-barang secara online 3D.

“Di London College of Fashion, sangat penting untuk kami menjembatani kesenjangan antara fashion dan teknologi dan mendukung generasi baru desainer dan pebisnis yang memahami teknologi baru,” kata Matthew.  "Itu akan memengaruhi semua yang mereka lakukan."

Inisiatif yang dilakukan di London College of Fashion menunjukkan bagaimana teknologi memang telah mengubah pola pikir dan pola kerja di berbagai industri. Meski belum diadopsi secara luas, namun penggunaan teknologi, termasuk AI, sudah mulai diadopsi oleh industri fashion di Indonesia untuk memberikan pengalaman baru dan unik untuk para pelanggan.

Sebuah aplikasi fashion matchmaking di Indonesia, misalnya, telah menggunakan teknologi AI dan machine learning untuk membantu penggunanya memadumadankan gaya dan merek fashion. Dengan bantuan chatbot yang berfungsi layaknya asisten pribadi, pengguna akan dibantu untuk mendapatkan gaya berbusana yang dianggap paling sesuai dengan gaya dan preferensi pengguna. Inovasi ini tentu menunjukkan bagaimana teknologi tidak hanya sekedar memberikan pengalaman pengguna dan model bisnis yang baru, namun juga membawa industri ke level kreativitas baru yang menyenangkan untuk pelanggan atau pengguna dan menguntungkan bagi pemilik bisnis.