ArenaLTE.com - ArenaLTE.com – Regulasi yang mengatur aktivitas digital telah diatur dalam Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disahkan sejak tahun 2008. Peraturan tersebut memicu kontroversi karena meski di satu sisi ada koridor hukum, namun masih banyak kelemahannya. Sehingga pemerintah melakukan revisi UU ITE yang hari ini resmi disahkan oleh DPR RI.

Dikutip dari laman kominfo.go.id, rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang ITE Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang Perubahan UU ITE pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, hari ini, Kamis (27/10).

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, mewakili Presiden RI, menyampaikan Pendapat Akhir Presiden dalam Rapat Paripurna tersebut. Ia mengatakan Revisi UU ITE telah disampaikan oleh Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Rapublik Indonesia melalui Surat No R-79/Pres/12/2015 tertanggal 21 Desember 2015.

"Di dalam surat tersebut, Presiden menugaskan Menteri Komunikasi dan Informatika dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk mewakili Presiden melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR RI untuk mendapatkan persetujuan bersama,” ujar Rudiantara.

Revisi UU ITE telah diselesaikan pembahasannya dalam pembicaraan Tingkat I pada tanggal 20 Oktober 2016 dengan keputusan menyetujui untuk diteruskan ke tahap selanjutnya yaitu Pengambilan Keputusan atau Pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna DPR RI.

Baca :
Kominfo Janji Permudah Sertifikasi TKDN 30% Smartphone 4G LTE
Ini Alasan RPP No 52 dan 53 yang Diajukan Kominfo Perlu Dibatalkan



Menteri Rudiantara mengharapkan semoga RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat disetujui bersama. Selanjutnya dapat disahkan menjadi UU ITE. Sehingga dapat semakin memberikan perlindungan hukum yang bernafaskan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia.

Lebih lanjut disampaikan Rudiantara bahwa ini merupakan undang-undang pertama di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai produk legislasi yang sangat dibutuhkan. Sekaligus menjadi pionir dalam meletakkan dasar pengaturan dan perlindungan di bidang pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.

“Namun karena dalam penerapannya terjadi dinamika pro dan kontra terhadap beberapa ketentuan di dalamnya, Pemerintah mengambil inisiatif untuk melakukan perubahan minor yang dianggap perlu dan relevan, “ jelas Rudiantara.

Rudiantara menambahkan bahwa setelah melalui rangkaian Rapat Kerja, Rapat Panja, Rapat Tim Perumus dan Rapat Tim Sinkronisasi, bersyukur Pemerintah dan DPR RI akhirnya sepakat terhadap muatan materi perubahan sebagai berikut:

  1. Untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan larangan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 ayat (3), dilakukan 3 (tiga) perubahan sebagai berikut:




  1. Menurunkan ancaman pidana pada 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:




  1. Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:




  1. Melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:




  1. Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam UU ITE pada ketentuan Pasal 43 ayat (5):




  1. Menambahkan ketentuan mengenai “right to be forgotten” atau “hak untuk dilupakan” pada ketentuan Pasal 26, sebagai berikut:




  1. Memperkuat peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40:



Respon Negatif Terhadap Revisi UU ITE


Pengesahan RUU revisi UU ITE ternyata masih ditanggapi sinis oleh masyarakat terutama yang aktif di dunia maya. Mereka menganggap pengesahan revisi UU ITE ini masih setengah hati. Karena tidak menyelesaikan ancaman atas kebebasan berekspresi.

Menurut Wahyudi Djafar, Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), poin-poin yang direvisi dalam UU itu tak jauh berbeda dengan UU sebelumnya. "Revisi ini hanya bersifat tambal sulam tanpa menyentuh persoalan dan kebutuhan pokok dari suatu undang-undang yang mengatur internet," ujar Wahyudi seperti dilansir dari Kompas.com.

Sementara itu LBH Pers dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyampaikan lima butir keberatan seputar pengesahan ini. Mereka menolak berbagai ketentuan yang ada dalam revisi tersebut dengan lima argumen.

Pertama, Pemerintah seharusnya mencabut ketentuan Pasal 27 ayat (3) tidak hanya mengurangi ancaman hukumannya. Kedua, perubahan Hukum acara pidana terkait UU ITE memberikan kewenangan diskresi aparat penegak hukum yang terlalu luas tanpa melalui pengadilan.

Ketiga, Soal Pidana Cyber Bullying yang berpotensi lebih buruk dari pasal 27 ayat (3) UU ITE. Keempat soal Penapisan Konten dan Blocking Konten, Revisi UU ITE justru menambahkan kewenangan Pemerintah tanpa mengatur mengenai kewajiban dan prosedur yang memadai. Terakhir, terkait pasal soal pemberitaan negatif terhadap seseorang di masa lalu.

Kebebasan juga berpotensi terusik dengan hadirnya konsep "right to be forgotten", yang dianggap bisa dimanfaatkan sejumlah pihak untuk menghapus jejak kejahatannya di masa lalu. Masalahnya, konsep itu mewajibkan penyelenggara sistem elektronik--seperti mesin pencari, media sosial, dan situs web--menghapus sebuah konten bila ada keberatan dari seseorang.