ArenaLTE.com - Wabah virus Corona, atau juga dikenal dengan nama Covid-19, yang membuat heboh orang sedunia ini, memang memberi dampak yang tak main-main. Tidak hanya membuat ribuan nyawa melayang (di seluruh dunia), tapi juga menekan perekonomian dunia. Hampir di semua sektor, kalau tak boleh disebut seluruh sektor perekonomian.
 
Termasuk sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pun diyakini akan terkena dampak dari Covid-19. Walaupun di lain sisi, bencana itu justru mendatangkan peluang pula bagi bisnis yang sarat teknologi ini. "Social Distancing yang dilakukan pemerintah tentu mengubah perilaku sosial dan kerja masyarakat. Istilah Working For Home (WFH)  atau Distance Learning menjadi familiar dan dianggap peluang bagi operator telekomunikasi di sisi trafik data,” kata Doni Ismanto Darwin, Founder IndoTelko Forum, ketika membuka diskusi media tentang "Nasib Industri Telko di Tengah Disrupsi Teknologi dan Covid-19", di Jakarta, Senin (16/3).
 
Kata pria brewokan ini, data learning menjadi  berkah mengembangkan inovasi Unified Communication (UC), yang cocok bagi perusahan untuk WFH atau startup yang mengembangkan platform belajar online bagi kalangan pendidikan. Selain ya itu tadi, konsumsi data yang diperkirakan bakal meroket, gegara orang banyak bekerja dan belajar di rumah.
 
Hanya saja, kondisi sekarang tentunya operator membutuhkan sejumlah insentif atau suplemen. Antara lain, keringanan regulasi untuk mendukung pengembangan jaringan hingga kemudahan dalam melakukan transformasi digital. "Sejatinya, regulasi  baru yang menjadi beban bagi operator ditunda dulu. Kita semua harus fokus memperkuat pemain TIK agar mampu mendukung Indonesia keluar dari penyebaran Covid-19 ini," kata penggemar jogging ini.
 
Andi Budimansyah, Ketua Umum Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII), yang juga jadi pembicara dalam diskusi ini, mengiyakan soal “kemudahan” bagi operator di tengah situasi sulit ini.  “Semua butuh internet dan internet butuh infrastruktur telekomunikasi. Perlu regulasi sederhana yang cepat dengan biaya yang wajar dalam hal ini. Termasuk untuk operator telekomunikasi, jangan ada biaya-biaya yang membebani sampai ke tingkat Pemerintah Daerah. Karena tanpa operator telekomunikasi, kita tidak bisa melayani kebutuhan internet untuk bekerja dan sekolah dari rumah,” dia menegaskan.
 
Beberapa tahun terakhir, operator memang mengandalkan trafik data sebagai pemasukan utama, setelah pendapatan dari voice dan SMS terus menurun, yang disebabkan  layanan OTT yang disediakan aplikator asing. “Sayangnya biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi minimal sebesar Rp1,2 triliun tetap harus dibayarkan ke pemerintah setiap tahun, entah operator itu untung atau rugi tetap harus dibayar. Kan lucu seperti ini, sementara operator harus berinvestasi juga menggelar kabel optik, menambah jaringan dan bandwith,” kata Andi lagi.
 
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi,  menyebut penyebaran Covid-19 telah mengubah perspektif dunia, misalnya muncul anjuran bekerja dari rumah, tentu akan memberikan dampak bagi perekonomian negara dan industri TIK Indonesia. Namun jika dilihat dari sisi positif, Covid-19 juga membuka peluang bagi operator seluler karena peningkatan penggunaan internet, aplikasi, dan kecerdasan buatan untuk mempermudah kebutuhan manusia.  
 
Ada 3 hal yang bisa diterapkan dalam proses transformasi teknologi, papar Heru. Pertama, Visi dan Kepemimpinan yang bisa membawa potensi negatif dari teknologi menjadi positif. Kemudian kedua, adanya inovasi dan adopsi teknologi baru. Ketiga, perlu diterapkan dalam budaya dan transformasi organisasi.  Ia mengingatkan, tahun 2020 akan sangat menantang bagi industri TIK karena faktor disrupsi teknologi dan Covid-19. 
 
“Disrupsi teknologi mengubah banyak hal dari sisi bisnis, kompetisi, adopsi dan inovasi teknologi, sampai kultur dan struktur organisasi perusahaan. Jumlah wisatawan akan menurun dan investasi asing juga. Bagaimana mau mikir investasi, kalau setiap negara mikir rakyatnya sendiri. Diperlukan visi dan kepemimpinan inovasi dan adopsi teknologi serta transformasi,” ujar Heru lagi.
 
Dampak Covid-19  
Pengamat Telekomunikasi Kamilov Sagala mencatat setidaknya ada dua dampak langsung Covid-19 bagi pelaku TIK. Pertama adalah keterlambatan pasokan perangkat jaringan, dan juga dukungan teknis bagi solusi atau use case layanan baru terhambat akibat terbatasnya tenaga ahli dari vendor yang berasal dari negara terdampak Covid-19.
 
“Kemudian dampak terbesar bagi operator adalah potensi naiknya biaya belanja modal infrastruktur jaringan dan operasional  maintenance untuk mempertahankan layanan 7x24. Karena itu perlu diberikan insentif bagi operator, misal penundaan implementasi validasi IMEI ponsel yang butuh investasi besar ,” kata Kamilov.
 
Analis Pasar Modal Reza Priyambada menambahkan, merebaknya Covid-19 otomatis akan berdampak pada emiten dari sektor TIK tahun ini. “Industri TIK sempat membaik tahun 2019 lalu, setelah pada 2018 terjadi penurunan kinerja emiten telekomunikasi. Lalu perang harga juga masih mewarnai industri ini, terlihat dari data yield yang semakin turun secara angka year per gigabyte. Tahun ini juga masih ada potensi yang menjanjikan di pertumbuhan konsumsi layanan data serta peningkatan smartphone yang semakin besar, perbankan, dan infrastruktur B2B,” ujar Reza.
 
Sementara Pengamat Telekomunikasi Mastel Nonot Harsono menilai Covid-19 juga bisa memberikan hikmah bagi operator seluler di Indonesia. Diprediksinya, wabah virus Corona ini akan menunda rencana sejumlah investasi besar dari pemain asing seperti Facebook dan Google di Indonesia.
 
“Keduanya sempat melakukan pendekatan ke pemerintah dengan iming-iming akan membangun infrastruktur digital. Padahal kalau mereka berdua masuk, akan mematikan bisnis operator seluler nasional yang memperoleh pendapatan dari berjualan paket data semata,” kata Nonot.
 
Nonot mengharapkan pemerintah memiliki kesadaran untuk mengelola disrupsi yang tengah terjadi agar yang terjadi transformasi positif di industri TIK. “Disrupsi bukan harus dipuja tetapi dikendalikan menjadi transformasi yang positif dengan pelaku industri nasional. Jangan sampai bunuh-bunuhan. Kalau mereka (asing) bisa masuk dengan keyword investasi, ya akhirnya mematikan,” imbuhnya.
 
Ia menambahkan, anjuran untuk bekerja dan sekolah dari rumah juga membutuhkan layanan internet yang kencang. “Operator telekomunikasi di Amerika Serikat bersedia memberikan paket data gratis selama 2 bulan bagi konsumennya. Tetapi disana ARPU-nya stabil di level US$ 10 dolar atau sekitar Rp 140 ribu. Kira-kira di Indonesia bisa nggak tuh diterapkan operator seluler nasional yang ARPU-nya masih sekitar Rp 40 ribu. Kalau ada selisih seperti itu, kira-kira pemerintah bisa masuk memberi insentif nggak?” pungkasnya.