ArenaLTE.com - Di era serba digital saat semua akses bisa dilakukan lewat internet, tidak ada lagi yang membatasinya baik itu perbatasan wilayah antara negara sekalipun. Termasuk luasnya ancaman para penjahat siber yang bisa menyerang siapapun dan negara manapun.
 
Bahkan ketika sebuah negara melakukan pembatasan atas akses teknologi dan mencoba membuat dunia internet terpecah dengan melakukan pengawasan ketat dengan menyaring semua konten bahkan aplikasi yang dianggapnya berbahaya, hal ini tidak akan mempengaruhi gerakan para penjahat siber.
 
Masalah geopolitik justru akan memengaruhi bagaimana para peneliti keamanan siber dari berbagai negara untuk berinteraksi. Hal ini sangat disukai oleh para penjahat siber.
 
“Para penjahat siber tidak akan terpengaruh akan geopolitik, karena parapenjahat siber hanya peduli akan satu hal yaitu “uang”. Mereka tidak peduli tentang ras, warna kulit, orientasi seksual," kata Anton Shingarev, VP of Public Affairs, Kaspersky lab dalam wawancara dengan ArenalTE di ajang Cyber Security Week, Siem Reap, Kamboja beberapa waktu lalu.
 
Lalu bagaimana dengan peran Indonesia terhadap dunia kemanan siber? Anton mengungkapkan jika peran Indonesia masih sangat kecil dan cenderung lebih banyak sebagai korban para penjahat siber karena Indonesia masih belum pudili tentang bahayanya keamanan siber.
 
Namun dengan sumber daya manusia yang dimiliki dan  potensi pasar yang luar biasa, bukan berarti Indonesia tidak memiliki kesempatan untuk berkembang agar bisa bersaing dengan negara tetangga yang lebih maju seperti Malaysia dan Singapura.

Tidak sendirian, permasalahan utama tentang kemanan siber di Indonesia banyak juga dialami oleh negara berkembang lainnya di Asia Pasifik, yaitu kurangnya kesadaran akan pentingnya keamanan siber, kurangnya profesional di bidang keamanan siber," kata Anton Shingarev.

"Selain itu, di Indonesia, juga tidak terlalu jelas lembaga apa yang bertanggung jawab atas apa, masih ada tumpang-tindihnya lembaga yang bertanggungjawab atas serangan siber," ujarnya.
Anton-Shingarev,-VP-of-Public-Affairs,-Kaspersky-lab
Anton-Shingarev,VP of Public Affairs Kaspersky Lab

Lalu solusinya gimana? Tidak bisa dipungkiri solusinya ada di kebijakan politik, keberpihakan atas pemegang kebijakan dan sangat tergantung pada pemimpinnya. "Ketika seorang pemimpin politik memiliki political will, negara bisa berkembang dengan cepat," katanya.

Dia menjadikan Singapura sebagai contoh. Singapura mulai menyadari bahwa ruang siber adalah kawasan penting yang harus mereka lindungi sekitar lima sampai tujuh tahun lalu. Pemerintah Singapura kemudian memutuskan untuk fokus pada hal ini dan kini, Singapura bisa memberikan kontribusi yang signifikan dalam komunitas keamanan siber dunia. 

Ada dua faktor penting bagi Indonesia memiliki kesempatan untuk bersaing dalam sektor teknologi yaitu pembangunan infrastruktur teknologi dan sumber daya manusia di bidang tersebut.

Meskipun begitu, dia merasa, pembangunan infrastruktur teknologi tetap harus dilakukan, asalkan pembangunan itu disertai dengan pengembangan SDM di Indonesia. 

Sumber daya manusia, menurut Shingarev, penting untuk membangun teknologi yang berkelanjutan. "Teknologi tanpa kesiapan sumber daya manusia sama saja bunuh diri. Akan banyak celah untuk para hacker menyerang," ujarnya.

Edukasi untuk kemanan siber harus dibina sejak dini, Menurut Anton, di Rusia, kami mulai mengajarkan ilmu komputer pada kelas lima. Kami mengajarkan bagaimana anak harus bertindak di internet dan pemprograman dasar.Inilah salah satu alasan mengapa Rusia memiliki banyak software developer berbakat. 

Lalu, bagaimana cara agar membuat anak dan remaja tertarik untuk belajar komputer atau matematika, yang merupakan ilmu dasar untuk belajar pemprograman. “Ada dua hal yang bisa dilakukan, Pertama, pemerintah harus membuat pekerjaan sebagai programmer sebagai pekerjaan yang hebat. Kedua, pekerjaan itu harus memberikan pendapatan yang tinggi," pungkasnya.