ArenaLTE.com - ArenaLTE.com – Selidik punya selidik, perang tarif antar operator ternyata tengah berlangsung. Tapi ‘pertempuran’ ini terjadi di luar Jawa. Jadi, masyarakat atau pengguna layanan telekomunikasi yang tinggal di Jawa tak akan terlalu merasakan pengaruhnya. Kendati begitu, perang tarif ini disinyalir bisa mengganggu margin operator.

Jika ditelisik, polemik revisi PP No. 52 dan 53 Tahun 2000, khususnya terkait interkoneksi dan network sharing, ternyata ikut memicu operator seluler untuk kembali menggelar perang tarif di luar Jawa. Seperti diketahui, perang tarif ini telah dimulai sejak medio 2016 saat Indosat Ooredoo (Indosat) secara terang-terangan menantang Telkomsel di luar Jawa, dengan program telepon Rp 1 per detik untuk panggilan suara lintas operator (off-net).

Setelah Indosat menurunkan tarif pembicaraan ke semua operator itu, XL Xiata (XL) pun malah ikut-ikutan mengikuti jejaknya. Tak ingin kalah bersaing dengan Indosat, kini XL mengeluarkan program Rp 59 permenit untuk telpon semua operator.

Kondisi ini menarik perhatian kalangan pengamat. Kendati perang tarif ini hanya berlaku di wilayah luar Jawa, namun Leonardo Henry Gavaza CFA, analis saham PT Bahana Securities, jor-joran tarif antar operator ini dipastikan akan membuat margin operator yang sudah cekak akan semakin menipis.

Program perang tarif yang dilakukan oleh Indosat dan XL tersebut dinilai Leonardo memiliki kemiripan dengan banting harga jasa telpon yang pernah dilakukan operator telekomunikasi di tahun 2007 dan 2008 yang lalu. Dahulu adu murah hanya di level onnet (dalam satu operator) namun kini sudah menjalar ke offnet (beda operator).

“Perang tarif ini cepat atau lambat akan dilakukan oleh Indosat dan XL. Memang tujuan Menkominfo melakukan revisi PP 52/53 tahun 2000 ini adalah untuk menciptakan kompetisi dan persaingan harga. Kejadiannya ya seperti perang harga offnet yang saat ini terjadi. Jadi revisi 52/53 tahun 2000 dan penurunan biaya interkoneksi memang ditujukan untuk mensupport kebijakan perang tarif Indosat dan XL,” tutur Leonardo.

Lebih jauh, Chief Economist Danareksa Research Institute, Kahlil Rowter menilai, adu murah tarif telekomunikasi yang dilakukan Indosat dan XL merupakan strategi untuk mendapatkan pelanggan baru di suatu wilayah.

Meski tarif murah ini sekilas akan menguntungkan konsumen, namun jika perang tarif terus dilakukan dalam jangka waktu yang lama dan masiv, Kahlil memastikan akan ada operator yang mengalami kerugian.  Bahkan tidak menutup kemungkinan akan ada operator telekomunikasi yang ‘gulung tikar’ akibat tak mampu bertahan di perang tarif ini.

Jika dikalkulasikan, sekilas perang harga yang dilakukan Indosat dan XL akan membawa keuntungan bagi konsumen. Dengan adanya perang harga, konsumen akan mendapatkan harga yang lebih murah dari penyelenggara jasa telekomunikasi.

Namun untuk jangka panjang, Kahlil pesimistis, konsumen akan diuntungkan dengan adanya perang tarif ini. Operator yang melakukan perang harga akan kembali menaikkan harga untuk menutup kerugian mereka selama ini ketika menjalankan perang harga tersebut.

Sebagai entitas bisnis yang mencari keuntungan, operator telekomunikasi harus menggembalikan dana yang dipergunakan untuk melakukan perang harga tersebut. Dengan kondisi seperti ini, nantinya harga layanan telekomunikasi dari operator yang melakukan perang harga tersebut bisa menggalami kenaikan.

Selain itu konsumen juga berpotensi mendapatkan harga yang jauh lebih mahal, menurut Kahlil konsumen juga bisa berpotensi mendapatkan layanan komunikasi yang kurang handal. Apalagi operator yang menjalankan perang harga dinilai Kahlil kerap mengabaikan kualitas layanan telekomunikasinya. Seperti sering terjadinya drop call atau terbatasnya coverage di satu wilayah.

Kahlil berpendapat, saat ini yang dibutuhkan konsumen adalah harga telekomunikasi yang terjangkau dan stabil. Bukan harga yang murah-murahan yang nantinya justru akan mengorbankan kepentingan konsumen.  “Jadi perang harga tidak otomatis menguntungkan konsumen. Perang tarif justru berpotensi memperdaya konsumen,”pungkas Kahlil.