ArenaLTE.com - Melihat tren Artificial Inteligence (AI) sepanjang 2019, bisa diprediksi sepanjang 2020 nanti akan muncul banyak isu seputar pemakaian AI. Bahkan baru-baru ini Presiden Joko Widodo sudah mengungkapkan keinginan memangkas birokrasi dan sebagai gantinya akan memakai AI untuk urusan birokrasi yang tidak rumit.
Dalam keterangannya Senin (30/12), pakar keamanan siber Pratama Persadha menjelaskan bahwa ancaman serangan siber di 2020 akan membawa masyarakat dunia pada level baru, para peretas yang memanfaatkan AI.

Menurutnya perkembangan AI tidak hanya terjadi di industri dan dunia birokrasi. Pada peretas juga mengembangkan AI untuk melahirkan malware dan ransomware yang mampu melakukan pembelajaran dan menambah peluang untuk berhasil melakukan satu serangan. Dengan AI, malware, ransomware, virus, trojan terus akan berkembang dan mampu memperbaiki kelemahannya saat melakukan operasi.

“Perkembangan AI memang sangat menggembirakan, bahkan menjadi solusi di berbagai tempat. Namun kita juga wajib antisipasi bahwa AI digunakan untuk mengembangkan perangkat serangan siber yang lebih canggih, sebuah parasit di wilayah siber yang bisa berpikir seperti manusia,” jelas chairman lembaga riset siber Indonesia CISSReC (Communication & Information System Security Research Center) ini.

Menurut Pratama serangan malware akan meningkat. Data BSSN menunjukkan Januari - September 2019 ada 129 juta serangan, angka tersebut bisa jadi akan jauh lebih besar karena serangan tak semuanya terpantau dan dilaporkan korban.

“Selain AI yang digunakan para peretas untuk melakukan evolusi pada malware, netizen tanah air juga akan dipusingkan oleh serangan yang menyasar aplikasi populer. Tak hanya peretasan saja, aksi memanipulasi juga bisa dilakukan orang biasa tanpa kemampuan hacking. Contohnya dalam kasus akun GoPay Maia Estianti,” terang pria asal Cepu Jawa Tengah ini.

Ditambahkan Pratama, semakin banyak orang sadar celah keamanan tidak selalu soal sistem pada web, aplikasi dan jaringan. Makin banyak yang menyadari bahwa manipulasi bisa juga dilakukan lewat korban yang minim pengetahuan IT. Paling banyak adalah kejadian menjebol akun dengan meminta OTP lewat SMS maupun telepon. Ini merupakan praktek social engineering yang sudah sering dilakukan pelaku kejahatan dengan berbagai modus.

“Baik pihak perbankan, marketplace dan siapapun yang berbisnis dengan internet serta aplikasi harus memperhatikan ini. Aspek penguatan keamanan siber tidak hanya di teknis, namun juga edukasi ke masyarakat, sehingga memperkecil peluang penipuan,” terang Pratama.

“Social engineering lewat phising juga akan tetep tinggi di 2020.  Kaspersky menyatakan bahwa ada 14 juta upaya phising hanya di Asia Tenggara sepanjang paruh pertama 2019, pastinya sebagian besar menyasar Indonesia,” jelas Pratama.

Dijelaskan olehnya , ancaman besar juga datang akibat kurang siapnya SDM dalam menghadapi ancaman siber dan proses digitalisasi. Pemerintah cukup menyadari ini dengan mengadakan Digital Talent 2019 yang salah satunya memperbanyak SDM dengan kemampuan di bidang siber, salah satunya adalah keamanan siber.

“Ancaman yang cukup serius bagi Indonesia di 2020 adalah penggunaan data pribadi dan data lainnya. Terutama setelah keluarnya PP no.71 Tahun 2019 yang didalamnya mengatur tentang penempatan pusat data yang lebih fleksibel. Padahal disaat bersamaan Indonesia belum memiliki UU Perlidungan Data Pribadi, sehingga kedaulatan data kita terancam,” jelasnya.

Serangan berbasis IOT (Internet Of Things) juga akan semakin meningkat di 2020, dengan semakin maraknya perangkat terhubung satu sama lain bisa menciptakan celah bagi penyerang untuk membajak perangkat ini untuk menyusup ke jaringan bisnis.

Ancaman terhadap kelangsungan pilkada serentak 2020 di tanah air juga bisa berasal dari wilayah siber. Selain peretasan, ancaman dari media sosial lewat hate speech dan hoax juga sangat membahayakan berlangsungnya proses pilkada serentak. Penegakan hukum dan edukasi di masyarakat akan sangat membantu mengurangi ancaman terhadap pilkada serentak.

“Tren hoax akan masuk ke level lebih tinggi dengan adanya deepfake yang dikembangkan dengan AI. Salah satu hasilnya adalah video hoax yang secara kasat mata sulit sekali dibedakan mana asli mana hoax. Ini harus diwaspadai sejak dini, karena rawan memecah belah masyarakat bawah,” tegas Pratama.