ArenaLTE.com - Akses data telekomunikasi memegang peranan penting dalam menggerakkan roda sosial dan ekonomi Indonesia dalam setahun terakhir. Pandemi Covid-19 membuat para pekerja, tenaga pengajar dan peserta didik, serta kegiatan bisnis sangat bergantung pada layanan informasi, teknologi, dan komunikasi (ICT) yang mumpuni.
Era digitalisasi ini tidak hanya membutuhkan keandalan infrastruktur telekomunikasi, namun juga payung hukum yang dapat menjamin keberpihakan pemerintah terhadap industri dalam negeri sekaligus menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat.
Terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada penghujung tahun lalu berkaitan erat dengan kecepatan melajunya industri ICT. Hal ini dipertegas dengan kehadiran beleid turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 yang mengatur tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar) berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2021.
Guna mengupas PP Postelsiar dan dampaknya bagi pelaku industri ICT, IndoTelko Forum menggelar webinar bertema ‘Menuju Kompetisi yang Sehat di Industri ICT Pasca PP Postelsiar’ pada Rabu, 24 Maret 2021. Doni Ismanto Darwin, Founder IndoTelko Forum berharap terbitnya UU Cipta Kerja dan PP Postelsiar bisa membawa angin perubahan bagi industri ICT.
“Keduanya memungkinkan hal-hal yang tadinya tabu bagi pemain Telco seperti network sharing atau penggunaan frekuensi 700 MHz untuk mobile broadband jadi bisa dilakukan. Selain itu, adanya PP Postelsiar juga menjamin kepastian hukum terkait analog switch off, serta memberi sinyal untuk pengaturan Over The Top (OTT) di Indonesia,” kata Doni saat membuka webinar.
Menurut Doni, selama ini ada beberapa kendala yang dialami pelaku usaha ICT dalam mengembangkan bisnisnya, terutama terkait ekspansi frekuensi. Mulai dari keharusan mengembalikan frekuensi ke negara ketika melakukan merger, biaya investasi infrastruktur yang tinggi. Sementara tarif terlalu murah, sampai bisnis operator yang mengalami tekanan akibat OTT di Indonesia.
“Posisi OTT lebih di atas angin terhadap operator. Hal itu bisa terlihat dari regulatory charges terhadap OTT yang tidak sama dengan operator, padahal layanan OTT mirip dengan operator. Mereka bahkan sekarang punya infrastruktur fisik seperti operator seperti kabel laut sendiri. Isu-isu kesetaraan berusaha ini harus dibereskan oleh pemerintah,” imbuhnya.
Heru Sutadi, Direktur ICT Institute mengungkapkan, masyarakat Indonesia sangat aktif menggunakan internet dan sosial media melalui berbagai gawai yang dimilikinya. Di awal 2021, ICT Institute menyebut ada 345,3 juta gawai (mobile connection) yang digunakan masyarakat Indonesia. Angka tersebut setara dengan 125,6% terhadap total populasi sebanyak 274,9 juta jiwa.
“Internet di Indonesia digunakan oleh setidaknya 202,6 juta orang dan 170 juta orang juga pengguna aktif sosial media. Masyarakat Indonesia menggunakan internet untuk berbagai keperluan mulai dari menonton video, vlog, streaming musik, podcast, berkomunikasi, sampai membaca berita,” ujar Heru.
Tidak heran jika kemudian banyak layanan OTT yang digunakan oleh masyarakat. Heru mencatat YouTube, Whatsapp, Instagram, Facebook, Twitter, dan Facebook Messenger merupakan jenis media sosial yang paling banyak diakses. Menyusul kemudian Line, LinkedIn, Tiktok, Pinterest, Telegram dan lainnya juga digandrungi masyarakat.
Pergeseran gaya hidup tersebut menurut Heru membutuhkan infrastruktur ICT yang memadai, yang selama ini dibangun oleh operator telekomunikasi. Oleh karena itu, Heru berharap PP Postelsiar bisa menjamin kemudahan bagi operator dalam melakukan kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio. Sehingga bisa menciptakan efisiensi biaya pembangunan infrastruktur, memperluas cakupan wilayah layanan, dan membuat harga layanan telekomunikasi menjadi lebih terjangkau lagi.
Muhammad Ridwan Efendi, Sekretaris Jenderal Pusat Kajian dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan, peranan Menteri Telekomunikasi dan Informatika sangat penting dalam menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat sesuai amanat PP Postelsiar. “Perlu diingat bahwa kerja sama pemanfaatan infrastruktur aktif bisa dilaksanakan antar operator, namun jangan sampai menimbulkan persaingan yang tidak sehat karena kerja sama itu dilakukan oleh operator yang berkompetisi di pasar yang sama,” kata Ridwan.
Atas dasar itulah, mantan Komisioner BRTI tersebut mengusulkan beberapa rekomendasi bagi pemerintah dalam menyusun Peraturan Menteri yang menjadi petunjuk teknis PP Postelsiar. “Agar persaingan usaha yang tidak sehat bisa dihindari sebelum dilaksanakan kerja sama pemanfaatan infrastruktur, diperlukan peran Menteri dalam memberikan persetujuan. Peraturan Menteri juga sebaiknya melarang praktik roaming nasional, serta melarang kerja sama frekuensi kecuali untuk teknologi baru seperti 5G atau GSM-R,” jelasnya.
Di webinar yang sama, Kamilov Sagala, Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan
Masyarakat Informasi (LPPMI) menyoroti beberapa kelemahan PP Postelsiar terhadap pengaturan bisnis OTT asing. “Tidak disinggung mengenai pajak digital, yang justru menguntungkan OTT dalam menjalankan usahanya di pasar Indonesia yang besar. Negara jadi rugi, karena devisa mengalir keluar,” tegas Kamilov.
Menurut Kamilov, pemerintah atau regulator seharusnya konsisten untuk menyelamatkan industri di dalam negeri dan juga konsumennya. “Dengan tidak adanya BRTI, Kominfo sebagai penguasa tunggal tidak bisa otoriter. Harus dibangun hubungan dengan asosiasi-asosiasi telekomunikasi yang peduli terhadap perkembangan industri dan perlindungan masyarakat,” katanya.
Kendala Menciptakan Persaingan Usaha yang Sehat
Terbitnya PP Postelsiar juga mendapat perhatian dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Guntur Syahputra Saragih, Wakil Ketua KPPU mengaku mengapresiasi payung hukum yang diterbitkan pemerintah tersebut, karena setidaknya 7 kali menekankan praktik
persaingan usaha yang sehat dalam pasal-pasalnya.
Namun, Guntur menyebut ada beberapa catatan yang harus diperhatikan dari PP Postelsiar agar pelaku industri telekomunikasi benar-benar bisa melakukan persaingan bisnis yang sehat. Pertama, terkait Pasal 30 ayat 2 PP Postelsiar yang menyebutkan Menteri dapat menetapkan tarif batas atas dan atau tarif batas bawah Penyelenggaraan Telekomunikasi dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan usaha yang sehat.
"Untungnya di ayat ini disebutkan dapat menetapkan tarif. Tetapi apakah benar-benar sudah terjadi kegagalan pasar sehingga regulator harus turun tangan menetapkan tarif. Kami berharap penetapan tarif ini harus melihat sudut pandang masyarakat, bukan hanya dari sisi menjaga keberlangsungan operator yang saling berkompetisi," kata Guntur.
Kedua, terkait belum terpenuhinya kondisi kesetaraan level of playing field antara operator dengan OTT asing. Pasal 15 PP Postelsiar menyatakan Pelaku Usaha baik nasional maupun asing yang menjalankan kegiatan usaha melalui internet kepada pengguna di wilayah Indonesia dalam melakukan kerja sama usahanya dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi dilaksanakan berdasarkan prinsip adil, wajar, dan nondiskriminatif, serta menjaga kualitas layanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
"Kasarnya, sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, KPPU hanya bisa melakukan penindakan terhadap perusahaan yang badan hukumnya ada di dalam negeri. Para OTT mungkin saja potensi pelanggaran persaingan terjadi misalnya saja urusan perpajakan. Tetapi KPPU sulit untuk melihat hal ini karena OTT ada di luar negeri, kami tidak punya wewenang penindakan extra territory," ungkapnya.
Ketiga, terkait pengalihan frekuensi antar badan usaha yang tidak perlu lagi dikembalikan ke
negara juga mendapat sorotan KPPU. "Setiap merger perusahaan itu perlu menyampaikan notifikasi ke KPPU yang akan melihat dampaknya dari sisi persaingan usaha. Namun karena UU nya menyebutkan pemberian notifikasi dilakukan setelah merger terjadi, bukan pra-merger maka kalau KPPU menolak merger tersebut akan menjadi masalah tersendiri," jelasnya.