ArenaLTE.com - Indonesia LTE Community kembali menggelar diskusi tahunan yang membahas seputar industri telekomunikasi Tanah Air. Pada perhelatan Indonesia LTE Conference 2018, organisasi yang fokus pada perkembangan ekosistem layanan data di Indonesia ini mengusung tema utama bertajuk “Entering The Next Phase of Data Era”.
 
Menghadapi era internet kecepatan tinggi, perusahaan teknologi aplikasi atau konten yang memanfaatkan perkembangan layanan internet kecepatan tinggi harus semakin jeli dan inovatif. Dalam ekosistem layanan data kecepatan tinggi, aplikasi kerap disebut sebagai salah satu motornya.
 
Layanan internet tanpa aplikasi niscaya tak akan banyak berarti. Karenanya, perlu didorong untuk pengembangan aplikasi. Khususnya yang cocok dengan karakteristik dan kebutuhan pengguna di Indonesia. Bagaimana menjawab tantangan ini, di tengah banyaknya serbuan aplikasi dari luar. Fokus utama di segmen ini adalah perkembangan dunia start up dan financial technology yang sekarang meningkat pesat.
 
Adalah T-cash salah satu layanan inovatif dari Telkomsel. CEO T-Cash, Danu Wicaksono mengungkapkan sejak 2007 sudah muncul ide bahwa perusahaan telekomunikasi harus menuju sesuatu yang baru karena prediksi voice SMS yang turun. “Tapi 2007 sampai 2015, investasi masih belum focus ke T-Cash, masih merupakan satu dari sekian banyak produk digital saja.”
 
Ia melanjutkan, sampai akhir Q4 2015, pemain e-money bertambah banyak. “Semakin banyak adopsi dari masyarakat  untuk mobile payment. Kami memutuskan menambah investasi di situ. T-Cash berubah haluan. Sebelumnya kita mendorong merchant payment dimana secara valuasi bisnis tidak berjalan. Ternyata jarang e-money besar yang anchor-nya merchant payment, susah dijadikan anchor.”
 
Ia memberikan gambaran perubahan haluan T-Cash dengan mencontohkan sebuah perusahaan di India. “Perusahaan VAS player menjadi distibutor telekomunikasi di sana. Mereka melihat peluang e money. Awalnya pulsa dan data. Kini user mencapai 200 juta dengan lebih dari 20 jenis layanan. Pertama pulsa dan data, kedua bill payment, ketiga transportasi, keempat E-commerce dan kelima entertainment.”
 
Menurut Danu, memiliki pulsa sebagai anchor penting, tapi tidak cukup karena orang recharge tidak setiap hari. “Kita memiliki registered user 20 juta. Jika pemain e-money lain 100 persen berbasis aplikasi menyasar pemilik smartphone, kita di Telkomsel banyak memiliki customer di pelosok, belum mempunyai smartphone. Banyak pengguna yang masih memakai UUSD.
 
Perubahan T-Cash terlihat dari targetnya yang menjadi customer lifestyle dan micro. “Untuk customer lifestyle T-Cash dipakai merchant payment dan bayar bill. Sementara untuk pengguna micro dipakai membayar tagihan, beli pulsa dan bayar cicilan.”

ILC-2018-Indonesia-LTE-Conference-2018--sesi-3-B
 
Bicara soal inovasi di bisnis payment ada juga KUDO, Managing Director GrabPay Indonesia Ongki Kurniawan mengungkapkan jika KUDO adalah startup teknologi pelopor business model online to offline (O2O). KUDO adalah singkatan Kios Untuk Dagang Online. “Berawal dari daerah yang belum banyak smarpthone dan rekening bank, KUDO adalah penyambung tangan digital. Bermula dari masyarakat yang menginginkan diskon online tapi tak punya smartphone.”
 
Perkembangan KUDO tergolong signifikan. “Startup ini berjalan tiga tahun dan luar biasa sudah terdaftar. Agen yang tergabung dalam KUDO memberikan kontribusi bagi small bisnis di Indonesia. Dari yang tak punya usaha tinggal download aplikasi akhirnya jadi business man. Sebagian besar dapat tambahan income 30% dari income awal.
 
Agen, lanjutnya, bisa jualan pulsa, tiket pesawat, kereta api hingga Bukalapak sekalipun. KUDO dapat sambutan dari penduduk karena ada yang bantu beli lewat online. “Kita juga kerjasama dengan Paytren, layanan ini memakai teknologi KUOD dengan pengguna Paytren, total menjadi 3 juta micro enterpreneur. Akhir 2018 kami optimistis bisa membantu 5 juta micro entrepreneur,” ujarnya.
 
Salah satu kendala bisnis seperti KUDO, katanya, masyarakat saat ini masih lebih nyaman melakukan transaksi dengan uang tunai. “Tantangannya sekarang adalah bagaimana membuat orang merasa nyaman memakai cashless mobile payment.”
 
Startup lain yang tak kalah kreatif adalah 17 Live. Layanan berbasis internet kecepatan tinggi yang wajib dicermati adalah konten streaming. Saat ini jumlah penyedia konten streaming semakin melimpah, salah satunya adalah 17 Live. Bukan rahasia lagi jika streaming mulai menjadi salah satu konten yang disukai pengguna data.
 
Akses internet yang cepat dan nyaman mulai membuka peluang baru dalam industri konten digital. Namun, selain memberikan dampak positif ternyata masih sulit menghapus stigma ‘negatif’ dari layanan streaming.
 
Menurut Direktur PT Tujuhbelas Media Indonesia Andryan Gouw, industri live streaming di Indonesia dari awal 2016 sudah identik dengan ha berbau pornografi dan pornoaksi. “Banyak yang menggunakan taktif negatif, memakai cara ilegal untuk mendapatkan banyak user dengan cepat. Banyak konten porno. Ini identik dengan dunia live streaming.
 “
Nah, di 2017 kita melakukan diferensiasi. banyak fokus ke konten. Tapi ada kesulitan memang untuk bisa masuk ke konsumen lantaran pemikiran negatif tentang konten live streaming. Padahal kita dari awal filosofinya tak mengusung hal berbau negatif. Policy-nya tegas. Ada kelihatan paha sedikit dihentikan siaran untuk membedakan dari yang lain.”

ILC-2018-Indonesia-LTE-Conference-2018--sesi-3
 
Sesi terakhir dari ILC 2018 juga memberikan inspirasi bisnis inovatif yang tengah dikembangkan CEO & Founder KarAds, I Made Harta Wijaya. Seperti diketahui, dalam kajian dari sebuah pemodal ventura belum lama ini disebut-sebut jika media adalah salah satu startup yang memiliki potensi sebagai Unicorn. Nah, KarAds besutan I Made Hartawijaya berupaya mendigitalkan media yang selama ini identik dengan offline (billboard).
 
“Terus terang klien saya B2B. Saat ini yang namanya media iklan tinggal dua yaitu digital dan outdoor. Trend digital membuat outdoor tertekan. Tak bisa hanya mengandalkan billboard atau videtron, tapi harus bisa diakses semua orang. Nah, yang bisa kita pakai adalah mobil, ada 174 ribu di Jakarta. Resource yang tak terbatas bisa dijadikan outdoor. Mobil dijadikan media, akan menurunkan harga dan cost untuk beriklan di outdoor.”
 
Untuk mendukungnya, I Made Hartawijaya, menyiapkan measurement terhadap iklan. “Dimana pemasang bisa melihat, iklan bergerak kemana saja, berapa kilometer sudah berjalan, berapa kali iklan dilihat. Itu yang dibuat di KarAds. Kita benar-benar percaya data. Tantangannya, memikirkan bagaimana bisa deliver value yang lebih.:
 
Terakhir adalah CEO & Founder liteBIG M.Tesar Sandikapura yang memberikan sedikit pencerahan. Ia berpendapat Startup Indonesia mulai bangkit tiga tahun terakhir. “Tapi ada fenomena yang harus dicermati bahwa dengan banyak startup lokal yang tumbuh apakah ada impact positif terhadap bangsa. Kita belum melihat.”
 
Harusnya, lanjut Tesar, apakah aplikasi yang dibuat bisa memberi impact positif kepada bangsa atau perorangan. “Ketika startup sudah besar, ujung-ujungnya pemiliknya adalah perusahaan asing. Apa yang kita banggakan? Produk lokal tapi semuanya sudah kepemilikan asing. Ambil contoh, pengguna smartphone 89% pengguna messenger. bisa dibayangkan apapun jenisnya.”