ArenaLTE.com - Pemerintah sudah sering menyuarakan wacana transformasi digital, dalam rangka menuju industry 4.0. Dalam era modern dan perkembangan teknologi yang makin pesat ini, transformasi digital menjadi factor utama, yang pada gilirannya dibutuhkan pula untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Lalu, sejauh mana Indonesia siap untuk itu? Apakah gaung industry 4.0 itu hanya sekadar lips service belaka?
 
Mari lihat kondisinya sekarang. Mengutip Laporan Global Connectivity Index Huawei 2018, Indonesia saat ini berada pada peringkat 64 pada index global connectivity dari 79 negara yang disurvey. Sekadar info, Indonesia hanya lebih baik dari Negara-negara gurem seperti Ghana, Nigeria, Bangladesh, Aljazair, Equador. Paling buncit adalah Ethiopia.
 
Tetapi lebih buruk ketimbang Vietnam yang ranking 61 dan Filipina yang ranking 57. Negeri kita bahkan nomor buncit di antara negara-negara ASEAN. Dan tertinggal jauh dari Malaysia yang menempati ranking 32, dan Singapur yang sukses duduk di ranking 2.
 
Dari segi karakteristik transformasi digital, Huawei membagi menjadi tiga level, pemula (starter), pengadopsi (adopter) dan pemimpin (front runners). Nah, posisi Indonesia dalam global connectivity index itu berada dalam kelompok pemula. Kelompok ini merupakan Negara yang masih di tawah awal dalam pengembangan infrastruktur ICT. Lebih berfokus pada penambahan pasokan ICT untuk meningkatkan akses kepada ekonomi digital. Sederhananya, infrastruktur ICT yang ada belum cukup memadai.
 
“Negara pemula ini akan berfokus untuk memberikan akses terhadap Ekonomi Digital yang lebih luas bagi rakyat, sementara negara pemimpin sudah mulai berbicara tentang pengalaman pengguna, pemanfaatan Big Data dan IoT untuk membentuk masyarakat yang maju dan efisien,” kata Mohamad Rosidi, Senior Expert ICT Strategy & Business Huawei Indonesia.
 
Nah, untuk menuju kepada level front runner, diperlukan sejumlah persyaratan. Rosidi memaparkan, persyaratan itu, pertama, menambah investasi untuk ICT dari 2% dari GDP per kapita menjadi 5%. Selain itu meningkatkan SDM IT dari 0.8% per kapita menjadi 2.8%. Menggenjot pengguna mobile broadband dari 80% per kapita menjadi 116%. Serta, jumlah pengunduhan aplikasi dari 21 apps per kapita mencapai level 38 apps per kapita.
 
Kondisi itulah yang menjadi tantangan dalam transformasi digital ini. Untuk itu, kata Rosidi, diperlukan upaya kolaboratif dari pemerintah, industri dan masyarakat di negara-negara pemula dalam hal akselerasi pembangunan infrastruktur yang akan menjadi basis dalam perwujudan masyarakat digital yang efisien dan cerdas.