ArenaLTE.com - Seabad yang lalu, minyak menjadi komoditas yang paling berharga di dunia. Namun di era digital seperti sekarang ini, data menjadi komoditas paling dicari dan paling berharga di dunia. Sebagai gambaran adalah perbandingan valuasi 500 perusahaan besar di tahun 2006 dan 2019. Tentu sebagian besar dari 10 perusahaan teratas di tahun 2019 adalah perusahaan yang menjadikan data sebagai fokus utama.

Sebut saja Amazon yang menduduki peringkat teratas dengan valuasi sekitar 4.480,1 triliun rupiah. Disusul Apple dengan valuasi 4.395 triliun, Google (Rp 4.387 triliun), Microsoft (Rp 3.567 triliun), Visa (Rp 2526 triliun) dan Facebook (Rp 2.257 triliun).
 
Sementara itu di Indonesia, Gojek perusahaan penyandang status decacorn pertama Indonesia memiliki valuasi 10 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 142 triliun. Hal ini membuat valuasi Gojek 14 kali lipat dari kapitalisasi pasar maskapai Garuda Indonesia yang berada di angka Rp
11,07 triliun.
 
Pakar keamanan siber dari Communication Information Sistem Security Research Center (CISSReC), mengatakan dunia saat ini telah memasuki era baru, dimana dunia industri dan bisnis menggunakan peran kecerdasan buatan atau Artificial Intelegencial (AI). Kemampuan AI digunakan untuk
mengolah data sehingga menjadi sesuatu yang berharga. Lebih berharga dari minyak atau barang tambang lainnya.
 
"Dalam era ini mulai dari profil seseorang, aktivitas, kebiasaan, lokasi, kesukaan dan lain sebagainya dapat dengan mudah dikumpulkan. Data yang telah terkumpul tersebut kemudian diolah melalui kemampuan AI sehingga menjadi informasi berharga," kata Pratama, Selasa (10/09/2019).
 
Lebih lanjut Pratama menjelaskan secara virtual semua aktivitas keseharian yang dilakukan oleh setiap orang adalah 'tambang' data digital. Data tersebut kemudian ditambang menggunakan internet atau smartphone yang digunakan sehari-hari.
 
"Contoh sederhananya adalah pergerakan masyarakat Jakarta yang terekam melalui global positioning system (GPS). Dari rekaman tersebut dapat diketahui lokasi-lokasi dengan kerumunan atau kepadatan yang tinggi, kemudian dapat diketahui waktu atau jam puncaknya, dan seterusnya.
Sehingga dari data tersebut dapat ditentukan prospek bisnis yang sesuai," kata Pratama.
 
Karena begitu pentingnya peran data saat ini, lanjutnya, pada negara-negara maju tingkat kebutuhan terhadap data melebihi kebutuhan minyak. Sebuah negara atau perusahaan dapat menguasai ekonomi dan mendapatkan keuntungan yang besar dari negara lainnya dengan menggunakan data.
 
"Maka tidak heran jika sekarang para investor tidak sungkan memberikan kucuran dana besar kepada starup-startup di dunia yang mampu menawarkan data kepada mereka," terang Pratama.
 
Kita bisa lihat sendiri bagaimana startup-startup dalam negeri dengan status unicorn atau decacorn yang mendapatkan guyuran dana besar dari berbagai perusahaan-perusahaan asing sebagai bagian dari investasi, kata Pratama. Para investor tersebut memberikan dana besar karena melihat
startup tersebut memiliki data dalam jumlah besar.
 
"Agar data ekonomi digital Indonesia tidak lepas atau dimanfaatkan pihak asing, maka pemerintah perlu serius mewujududkan payung hukum atau kebijakan untuk melindungi data tersebut. Seperti mewujudkan UU Perlindungan Data Pribadi dan UU Keamanan Siber" tandas Pratama.
 
Memang, saat ini Indonesia sudah  memiliki aturan soal perlindungan data pribadi untuk sistem transaksi elektronik. Namun hanya sebatas  Peraturan Menteri (Permen) No 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi. Sedangkan, untuk Undang-undang perlindungan data pribadi hanya
melindungi beberapa data KTP saja, bukan perilaku pelanggan yang direkam oleh startup. UU-nya pun masih draft, belum ditandatangani.
 
Selain itu, pemerintah juga perlu memiliki pusat inkubasi data tersendiri yang bisa diakses untuk mengatur bagian krusial dari data ekonomi digital. Sebagai contoh adalah India dengan sistem identitas digital mereka bernama, Aadhaar. Proteksi terhadap data-data rakyat Indonesia mendesak untuk dilakukan. Karena, disadari atau tidak, selain sebagai bagian dari bisnis, penguasaan data juga menjadi bagian dari perang asimetris, pungkas Pratama.